Setelah semua sesaji lengkap, dengan dipandu oleh juru kunci atau penjaga punden, pelaku dapat langsung melakukan ritual. Dan ritual ini harus dilakukan pada malam Jum’at. Akan lebih afdol, jika ritual dilakukan pada malam Jum’at yang keramat, yakni malam Jum’at Legi atau Kliwon.
“Syarat-syaratnya harus dipenuhi. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Dan akan lebih baik. Kalau kurang, pasti tidak akan ada respon dari alam sana,” tutur juru kunci, yakni seorang kakek berusia 70-an tahun yang akrab disapa Mbah Miran.
Bila semua persyaratan sudah dilengkapi, dan si pelaku sudah mantap lahir dan batin, maka Mbah Miran akan membeberkan tata cara ritualnya. Setelah prosesi ritual yang dipandu juru kunci usai, pelaku dapat langsung pulang ke rumah. Karena memang, uang tunai yang didapat oleh pelaku dari mencari pesugihan di tempat ini, tidak cair saat itu juga. Namun pelaku harus menyediakan kamar khusus dirumahnya.( Bisa Juga di ambil secara langsung tapi ada syarat khusus berupa minyak seharga Rp.13 Juta )
“Asal sesaji yang dipersembahkan diterima oleh sang penguasa gaib, dalam kurun waktu antara 40-90 hari, maka uang tunai akan secepatnya dikirim,” tandas Mbah Miran.
Lebih lanjut dijelaskan olehnya, di Bank Gaib Punden Beji, sesungguhnya ada dua pilihan bagi pelaku yang ingin mendapatkan uang tunai. Pilihan pertama adalah dengan cara meminjam, dan yang kedua adalah dengan cara meminta. Jika meminta, biasanya maka yang didapat oleh pelaku cuma sekedarnya saja. Suatu missl, pelaku betul-betul kepepet karena ditagih utang dan harus segera membayar. Jika seperti ini dan mengatakan hanya ingin meminta pada saat ritual, maka pelaku akan diberi oleh sang penguasa gaib sebatas besarnya utang si pelaku. Konon, hal ini tanpa tumbal apapun. Yang penting, si pelaku benar-benar tengah dikejar utang.
“Kalau berbohong, jangan harap akan diberi. Malahan bisa saja dia celaka!” Tandas Mbah Miran.
Jika saat ritual pelaku mengatakan ingin mendapat pinjaman, maka akan lain lagi nilai yang diperoleh. “Pelaku tingal menyebut angka nominal yang diinginkannya,” tambah si kakek. Dia lalu menyebutkan bahwa penguasa gaib tempat itu hanya bisa memberikan pinjaman uang tak lebih dari 3 milyar rupiah jumlahnya.
“Kalau saat meminjam pelaku menyebut angka nominal lebih dari itu, maka dapat dipastikan tidak akan dipenuhi. Masalah besar pencairannya, Eyang yang mengira-ngira. Tapi yang jelas, pasti lebih satu milyar,” cerita Mbah Miran kepada kami
Ketika lebih lanjut ditanyakan tentang para pencari pesugian di tempat itu yang telah sukses, juru kunci dengan blak-blakan menyebut beberapa nama. Di antaranya, Margono warga , Purwodadi, Jawa Tengah, Adji Saputro dari Jakarta serta seorang berinisial SHD yang menurut Mbah Miran, berprofesi sebagai wartawan di Jakarta.
“Itu hanya sebagian yang saya sebutkan. Yang jelas, banyak sekali yang sukses. Dan yang jelas lagi, dari yang sukses itu ada juga wartawan. Tapi jangan tersinggung lho, Mas!” Tutur juru kunci dengan nada setengah bercanda.
Masih menurut cerita Mbah Miran, walau tempat itu sering didatangi para pencari pesugihan yang menginginkan uang tunai, baik itu yang pinjam milyaran rupiah maupun yang diberi secara cuma-cuma, tapi dana yang bersedia di Bank Gaib Punden Beji, takkan habis dalam waktu dekat ini. Pasalnya, menurut Mbah Miran, di tempat tersebut, tersedia uang tunai sebanyak tiga kontainer besar.
“Hingga kini, yang dibuka baru satu kontainer. Itupun belum ada sepersepuluh dari isi container itu yang telah dipinjamkan kepada para nasabah,” tandas Mbah Miran yang mengaku bisa melihat keberadaan uang tersebut dengan kekuatan mata batinnya.
Bahkan, menurutnya lagi, di bank gaib tersebut juga ada sistem seperti juga layaknya ada sistem administrasi yang berlaku di sebuah bank di alam manusia.
“Bank gaib itu juga punya karyawan. Para karyawan itu umumnya adalah mantan pelaku pesugihan yang telah dis waktunya, dan harus mengabdi di alam gaib Punden Boja. Nah, mereka inilah yang mendata besarnya pinjaman serta kapan waktu pengembaliannya bagi para nasabah baru,” cerita Mbah Miran.
“Yang jadi karyawannya adalah mantan nasabah yang sudah meninggal. Mereka yang kemudian disuruh mendata para nasabah baru. Termasuk mencatat kapan waktu pengembaliannya. Kalau masalah pencairan, Eyang sendiri yang mengantar ke rumah nasabah.” Jelas Mbah Miran ketika Misteri mendesaknya lagi. Yang disebutnya sebagai Eyang adalah penguasa gaib tempat itu.
Seperti halnya tempat pesugihan ditempat lain, pesugihan Bank Gaib Punden Beji juga meminta tumbal nyawa. Namun menurut juru kunci, penguasa gaib tempat itu, tidak mau diberi tumbal nyawa orang lain, walau itu keluarga si pelaku. Yang diinginkan oleh sang penguasa, nyawa pelaku sendiri.
“Namun hal ini berlaku jika pelaku tak mampu mengembalikan pinjaman tepat waktu!” Tandas Mbah Miran.
Menurut perkiraan Kamii, sebenarnya ada perbedaan yang signifikan antara tumbal nyawa di tempat pesugihan lain dengan Bank Gaib Punden Beji. Jika di tempat lain biasanya pelaku akan menjadi abdi sang penguasa gaib sebelum takdirnya tiba, tapi tidak demikian di tempat ini. Menurut juru kunci, biasanya pelaku diberi kesempatan hingga usia pelaku maksimal 90 tahun untuk mengembalikan pinjaman. Dalam kurun waktu itu, jika pelaku mampu mengembalikan dengan utuh pinjamannya yang tanpa bunga, maka akan bebas. Atau dengan kata lain, pelaku takkan menjadi abdi sang penguasa gaib.
“Namun menurut kejadian yang sudah-sudah, semua pelaku tak ada yang mampu mengembalikan dengan utuh,” terang Mbah Miran lagi.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurutnya, walau ketika dari rumah uang yang akan dikembalikan di hitung genap sesuai besarnya pinjaman semula, tapi sesampainya di areal Bank Gaib PundenBeji, uang itu pasti sudah berkurang jumlahnya. Hemat Kami, barangkali inilah cara para iblis yang bersemayam di sana untuk menjerat para korbannya agar menjadi hamba-hamba sesat dan menghuni alam kegelapan.
“Selama saya jadi juru kunci kurang lebih 30 tahun, tak seorangpun nasabah yang mampu mengembalikan pinjaman dengan utuh. Memang saat dihitung di rumah nilainya genap sejumlah pinjaman awal. Tapi setelah sampai di sini, jumlahnya pasti berkurang,” terangnya lagi.
Karena setelah dihitung kembali jumlahnya tidak sesuai dengan pinjaman semula, maka sang penguasa gaib tidak mau menerima pengembalikan. Walau begitu, sang penguasa gaib tidak langsung serta merta mengambil nyawa pelaku dalam waktu dekat. Karena penguasa gaib hanya mau mengambil nyawa pelaku dan dijadikan abdi jika takdir pelaku telah tiba. Maksudnya, kontrak umurnya memang sudah sampai.
“Enaknya ya…itu. Pelaku hanya diambil oleh Eyang jika takdinya sudah tiba. Kalau belum takdinya, ya dibiarkan. Tapi biasnya, para pelaku pencari pesugihan di tempat ini, umurnya justru panjang. Bahkan ada yang mencapai 90 tahun. Karena itu merupakan batas akhir yang diberikan oleh Eyang.” Papar Mbah Miran.
Cerita Mbah Miran, jika benar, barangkali memang bisa menggiurkan mereka yang punya keinginan cepat kaya tapi dengan pikiran pendek dan sesat. Sebenarnya, dari mana saja para pelaku pencari pesugihan di tempat ini? Menurut Miran, rata-rata pelaku berasal dari luar daerah setempat. Ada yang dari Jakarta, Bandung, serta luar Jawa.
RADEN SUBAKIR – DEWI AMINI
Siapa sebenarnya sosok gaib penghuni pohon kamboja yang telah berusia kurang lebih 450 tahun itu? Menurut juru kunci, yang menjadi penguasa gaib Bank Gaib Punden Boja adalah Raden Subakir dan isterinya yang bernama Dewi Amini.
Semasa hidupnya, mereka merupakan keturunan darah biru. Mereka juga dikenal sebagai saudagar yang kaya raya pada zamannya. Suatu ketika mereka pergi merantau ke tanah Jawa untuk berdagang. Setibanya di tanah Jawa, mereka kemudian menetap di kerajaan Pajang yang saat itu dipimpin oleh rajanya bernama Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.
Setelah sekian lama menikmati kemakmuran kerajaan Pajang lewat kegiatan bisnisnya, di tempat mereka menetap terjadi huru-hara besar, yakni pertempuran antara Pajang melawan Mataram, yang ketika dipimpin oleh rajanya bernama Panembahan Senopati. Padahal sebelumnya, Panembahan Senopati yang mempuyai nama kecil Sutawijaya, pernah menjadi seorang abdi di Pajang. Kemudian dia mendirikan kerajaan sendiri, dan Jaka Tingkir yang telah membesarkannya. Kemudian justru di serang. Ketika masih di Pajang, Panembahan Senopati diangkat sebagai putera angkat oleh Jaka Tingkir.
Penyerangan tersebut dilakukan oleh Panembahan Senopati, semata-mata untuk memenuhi ambisi politiknya untuk memperluas wilayah kekuasaan.
Karena situasi yang kurang mendukung, kemudian Raden Subakir beserta isterinya memilih untuk mengungsi ke arah timur. Perjalanannya kali ini bersama para bangsawan Pajang yang tidak mau mengakui kekuasaan Panembahan Senopati. Salah satu pangeran dari Pajang yang menyingkir bersama keduanya yakni seorang bernama Pangeran Timur.
Konon, sesampainya di Madiun, Jawa Timur, mereka sudah tidak bersama lagi. Raden Subakir dan isterinya memilih menetap di Ngawi, sementara Pangeran Timur memilih menetap di Madiun. Bahkan, Pangeran Timur kemudian menjadi Bupati Madiun yang pertama dengan gelar Adipati Ronggo Jumeno.
Tak lama setelah menjadi bupati, Ronggo Jumeno kemudian memberontak kepada Mataram. Konon, pemberontakan Ronggo Jumeno kepada Mataram ini terjadi karena masalah suplai logistic yang tidak adil.
Sementara itu, Raden Subakir dan isterinya saat mengungsi membawa serta seluruh harta berharga yang mereka miliki. Terutama barang-barang yang terbuat dari emas. Bahkan disebut-sebut, barang yang terbuat dari emas milik keduanya, jumlahnya mencapai puluhan peti.
Tak jarang, selain menyuplai logistik untuk pasukan Ronggo Jumeno dalam perang melawan Mataram, Raden Subakir dan Dewi Amini turut serta di dalam medan pertempuran. Karena memang sebenarnya keduanya juga orang sakti. Apalagi, jarak antara Madiun-Ngawi di mana keduanya tinggal, hanya terpaut sekitar 25 Km.
Walau bisa dikatakan sebagai rekan seperjuangan, ketika meninggal, keduanya tidak mau dimakamkan di komplek pemakaman para bangsawan Madiun. Ketika wafat, keduanya dimakamkan di Ngawi.
Dikisahkan, mereka dikubur bersama harta bendanya yang melimpah itu. Makam mereka tanpa batu nisan, kecuali sebuah pohon kamboja yang tertanam di atas pusaranya. Pohon kamboja inilah yang kemudian oleh warga disebut Bank Gaib Punden Beji.
Lalu bagaimana kedua sosok yang telah dimakamkan ini kemudian membuka bank gaib? Masih menurut juru kunci, walau secara kasat mata keduanya telah meninggal, tapi pada hari-hari tertentu mereka muncul di toko-toko emas yang ada di wilayah Ngawi dan sekitarnya, termasuk Madiun, Magetan serta Ponorogo.
Kemunculan kedua sosok ini, hanya untuk menjual emas miliknya ketika masih hidup. “Menurut pengalaman saya, Raden Subakir dan isterinya telah menjual emas ke toko-toko sejak era tahun 40-an atau ketika Indonesia belum merdeka. Uang hasil penjualaan emas inilah, yang kemudian di simpan dalam tiga gedung besar seperti kontainer dan kemudian dipinjamkan kepada para nasabah dari bangsa manusia, dengan persyaratan khusus,” papar Mbah Miran dengan bersungguh-sungguh.
Kalau benar begitu, bukankah uang hasil penjualan zaman dulu sekarang sudah tidak berlaku lagi? Padahal, yang dipinjamkan ke para nasabah, tentu adalah uang yang masih harus berlaku saat ini?
“Eyang juga punya tabungan di bank bangsa manusia. Karena itu, uangnya juga mengikuti zaman yang ada!” Jawab Mbah Miran.
Melihat Misteri yang kebingungan, dia lalu menambahkan, “Namanya juga sosok gaib. Apa yang tidak mungkin bagi kita, sangat mudah bagi Eyang.”
Sayangnya, Misteri tidak memperoleh informasi bagaimana cara pinjaman dikembalikan. Kalau harus dalam bentuk uang chas, lantas dikemanakan uang tersebut?
Satu hal lagi, Mbah Miran enggan menceritakan mengapa dirinya tetap hidup miskin, padahal dia sudah puluhan tahun diangkat sebagai penghubung Bank Gaib Punden Beji. Hanya, sekali waktu dia menyela dengan nada kurang suka, “Kalau saya mau kaya, itu mudah bagi saya. Tapi, saya lebih suka hidup seperti ini.”
Benarkah? Semuanya memang terbungkus misteri…!