Setiap malam Jumat Kliwon dipesisir Segoro Kidul selalu dipadati oleh peziarah, umumnya mereka melakukan ritual dengan maksud dan tujuan tertentu, doa dan permintaan ditujukan kepada Sang Khaliq, hanya saja perantaranya melalui Penguasa Segoro Kidul. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan, meski sudah mulai terkikis ditelan jaman dan peradapan modernisasi namun, tidak sedikit masyarakat yang masih menjalankan dan memercayainya.
Para peziarah datang dari berbagai daerah, tempat yang ditujupun beragam, ada yang di Perbukitan, Goa, atau langsung dipesisir Segoro Kidul. Ritual dilakukan dengan berbargai sesaji, seperti jajan pasar, tumpeng, kembang setaman dan lain-lain. Namun, lain tempat lain pula sesaji dan ritualnya, misalnya ada yang melengkapi dengan buah-buahan, ayam panggang, kambing, bahkan ada juga yang menyajikan sapi atau kerbau.
Menurut Ki Waris, juru kunci goa Nagaraja, ritual dan sesaji yang dipersiapkan oleh peziarah itu tidak sama, dan biasanya peziarah akan mendapatkan petunjuk terlebih dahulu melalui mimpi, setelah itu baru mempersiapkan sesuai petunjuk. “Itupun tergantung dari maksud dan tujuannya, masing-masing orang kan berbeda,” tutur Ki Waris.
Goa Nagaraja didiami oleh para leluhur seperti Eyang Nagaraja, Eyang Prabu Anom, Eyang Nagaruncing, Eyang Nagagini, Watu Lumpang, dan Dewi Daya Indah.
Ki Waris juga menambahkan, kalau malam Jumat Kliwon ini ada rapat besar dari para leluhur di goa Nagaraja, petunjuk ini diterima oleh Purwato (52) yang menyepi di goa untuk menenangkan diri dan memperbaiki hidup dengan lantaran leluhur di Nagaraja sebagai sareatnya, hakekat tetap kepada Sang Khaliq.
Biasanya para peziarah melakukan ritual-ritual khusus, misalnya solat hajat, dzikir, dan doa-doa yang diajarkan oleh agama. “Sebenarnya cuma pindah tempat saja, karena disini lebih tenang, disini juga menjalankan ibadah.” tutur Apih Dedi (70) dari Cilawung, Garut. Apih Dedi kesehariannya sebagai konsultan spiritual dan sering berziarah ke goa Nagaraja untuk mengantarkan tamu-tamunya.
Darso (49) dari Purbalingga menyukai napak tilas leluhur, terutama ziarah makam. “Awalnya ekonomi keluarga saya sangat susah, setelah saya berziarah kemana-mana dan mohon petunjuk kepada Allah SWT melalui para leluhur, alhamdulillah sekarang ekonomi keluarga saya membaik dan usaha dagang saya lancar.” katanya. “permohonan saya ya mencari keselamatan untuk keluarga dan minta diberi umur panjang,” lanjutnya.
Lain halnya dengan Trias (27) sudah dua malam di goa Nagaraja sengaja menyepi untuk mencari ketenangan dalam mendalami ilmu Tarekat.
Dilain tempat, tepatnya dipesisir segoro kidul sedang berlangsung ritual labuhan (larungan), yang dipimpin oleh Ki Ali Muhammad juru kunci goa Rahayu. Aneka rupa sesaji telah dipersiapkan, ritual larungan dimaksudkan untuk membersihkan diri dari segala kesulitan, sial, atau ibarat baju dicuci untuk dibersihkan kembali.
Kesemuanya itu diaturkan kepada Kanjeng Gusti Ayu Ratu Kidul supaya diayomi, setelah itu kembali dengan Eyang Suci Rahayu.
Sarining dupo, sekar telon, jajanan pasar, pasaran kerin, tumpeng mugana, sayur kambing, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pait, air putih, kelapa muda ijo. Kesemuanya itu untuk (bekteni) para leluhur yang ada dikabupaten Cilacap. Semoga para leluhur melindungi (ngayomi) semua anak keturunan yang ada di Nusantara. “Kesemuanya itu harus didasari dengan kepercayaan, kalau tidak percaya, tidak yakin akan tanpa guna, apapun yang dilakukan akan sia-sia saja.” Tutur Ki Ali Muhammad.
Eyang Suci Rahayu adalah yang paling tua, Eyang sebutan untuk tua, Suci sebutan untuk bersih, dan Rahayu sebutan untuk (rah) dari bapak-ibu waktu bersetubuh belum ada wujud sampai ada, yang bertapa sembilan bulan sepuluh hari di goa ibu, kemudian bertapa di goanya Gunung yaitu di goa masing-masing wujud, dan di goanya Bumi (liang lahat). Tidak ada menjadi ada, sudah ada jadi tidak ada lagi yaitu kembali ke asalnya. Demikian disampaikan oleh Ki Ali Muhammad juru kunci goa Rahayu.