Kasus terakhir ini menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah. Terbunuhnya Imam Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah pada bulan Muharam, melahirkan sebuah kepercayaan baru dikalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein. Entah mengapa keyakinan seperti ini kemudian berimbas pula pada sebagian penganut Sunni termasuk di Indonesia yang menganggap bulan Muharam adalah bulan keramat yang sekaligus bulan kesialan, sehingga banyak melahirkan praktik-praktik khurafat dan bid'ah.
Padahal, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa pada mulanya Rasulullah saw mempercayai keterangan orang Yahudi bahwa hari Asyura (dalam tradisi Arab disebut "Asyura" pula), yakni tangal 1 Bulan Tishri, adalah "yaumun shalihun." Jadi, hari yang tertanggal tersebut bukanlah hari sial, bahkan disebut "hari yang baik" (yaumun shalihun). Justru, pada hari itu dianggap sebagai salah satu hari "penebus dosa" dengan cara berpuasa.
Ajaran Islam sendiri sangat memuliakan bulan ini, bahkan Allah melarang berperang, saling membunuh, dan merusak syiar-syiar Islam pada bulan ini (lihat QS. Al Maidah: 2). Kata Muharam sendiri berarti "yang diharamkan." Artinya, pada bulan ini orang-orang Arab jahiliyah menghentikan semua peperangan yang dilakukannya. Kesucian Bulan Muharam juga dipandang berhubungan dengan tradisi orang-orang Yahudi, khususnya tradisi hari Assyura
Dalam agama Yahudi, ada satu hari yang dipandang bernilai rohaniah dan sangat diagungkan,yaitu hari Yom Kippur (Hari Penebusan Dosa). Istilah ini dari bahasa Ibrani, "yom" (yaumun, bahasa Arab) yang berarti "hari" dan "kippur" (dari kata Ibrani "kuppar") yang berarti "perdamaian". Hari ini merupakan salah satu hari suci yang paling dikeramatkan orang-orang Yahudi.
Hari Yom Kippur itu jatuh pada hari kesepuluh dalam bulan ke-7 (yang disebut bulan Tishri) dalam agama Yahudi. Istilah "Hari Kesepuluh" (The Tenth) ini dalam bahasa Yahudi-Aram (Hebrew-Aramic) disebut "Asyura." Pada hari ini, orang-orang Yahudi melakukan persembahyangan dan puasa. Mereka yakin bahwa pada hari inilah mereka diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghapuskan dosa mereka yang dilakukan selama setahun sebelumnya. Dalam kesempatan ini mereka berkunjung antar keluarga, antar sahabat dan tetangga untuk saling memohon maaf.
Dalam Serat Widya Pradana (karangan R. Ng. Ranggawarsita) dikatakan bahwa untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa, maka bertepatan dengan tahun 931 H atau 1400 tahun Saka, atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Caranya adalah menggabungkan hari tujuh Hijriyah dengan hari kelima (tepatnya hari lima atau pancawara). Sebelum ada hari tujuh Islam (Itsnain, Tsulatsa', Arba'a, Khamis, Jum'ah, Sabt dan Ahad) ada hari tujuh lama (Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Tumpak dan Radite). Adapun pancawara tetap dipakai tidak diganti. Pancawara itu meliputi: legi (manis), pahing (merah), pon (kuning), wage (hitam), dan kliwon (asih atau kasih). Karena perangkapan atau penggabungan ini (hari tujuh Islam dengan pancawara), maka dikenallah hitungan selapan (35 hari) dalam setiap bulan.
Penggabungan kalender tersebut, untuk sebagian orang, diduga sebagai salah satu strategi untuk merukunkan dua varian, yang menurut Clifford Geertz disebut "Islam santri" dan "Islam abangan." Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin "menyatukan Pulau Jawa." Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Harnyokrokusumo ingin merangkul dua varian tersebut.
Pada setiap hari Jumat legi, Sultan Agung menjadikan dina paseban (hari pertemuan resmi) sebagai pelaporan pemerintahan daerah-daerah kepada keraton secara resmi. Sementara itu, untuk daerah Timur, pada hari yang sama (Jumat legi) dilakukan juga laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu) ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.