“Ke mana, Bah“
“Cari uang”
“Lho, kan Abah kerja di sini, cari uang di mana lagi?”
“Sudahlah tidak usah ribut besok kalau sudah kaya tak kasih tahu di mana aku cari uang.”
Begitulah teman kerjaku yang satu ini. Biasa di panggil Abah oleh teman-teman sekantor karena dua anak perempuannya di rumah biasa memanggil Abah. Kerja di sini memang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi yang namanya manusia pasti ingin hidup lebih. Ingin kaya. Walaupun kaya itu ukurannya sangat relatif. Kaya itu identik dengan perasaan cukup. Kalau sudah merasa cukup dengan gaji perbulannya berarti sudah kaya. Bila belum merasa cukup berarti miskin. Jadi, kaya tidaknya seseorang tergantung dari cukup atau tidaknya dalam menggunakan uang yang diperoleh.
Aku jadi ingat dengan tetanggaku di kampung. Kedua wanita ini pedagang ikan. Mereka membeli ikan dari nelayan dan dari petani tambak. Kemudian menjualnya di pasar setiap hari. Tempat berjualan mereka berdampingan.
“Habis berapa kilo? Pasar hari ini sepi sekali. Dagangan yang hanya sepuluh kilo terjual separo.”
“Sama, aku juga begitu. Mungkin harga ayam turun karena isu flu burung. Banyak orang yang beli ayam.”
“Sekarang kita kaya ikan ya, Makyu.”
“Tapi teman kita Yu Harti jam sepuluh tadi sudah habis dagangannya.”
“Begitulah, Mbakyu, rezeki orang itu berbeda-beda.”
“Tapi ada yang bilang Yu Harti itu mengambil pesugihan.”
“Ah, yang benar. Yu Harti itu orangnya rajin shalat. Bahkan sering ke mushala.”
“Tapi, siapa tahu itu untuk menutupi saja.”
“Mungkin, ya. Tapi, kok tidak ada sanak saudaranya yang tiba-tiba meninggal? Biasanya pesugiahan itu kan ada tumbalnya.”
“Tidak semua seperti itu lho Mbakyu. Ada yang tumbalnya binatang.”
“Wah kalau yang begitu enak, ya.”
“Mbakyu tertarik. Bagaimana kalau kita sama-sama ke sana. Malam Jumat Legi yang akan datang kita ke sana.”
Pada hari yang ditentukan berangkatlah mereka ke pulau yang oleh masayarakat sekitar disebut pulau kera. Tekad mereka telah bulat. Mereka ingin kaya. Mereka berempat dengan suami masing-masing. Pulau itu dihuni banyak kera. Setiap orang yang ingin kaya dari situ harus menyerahkan seekor kera betina. Ada baiknya untuk menjaga kelestarian satwa yang paling mirip dengan manusia ini. Mengapa betina?
“Wanita itu yang menjaga harta benda di keluarga. Sedangkan laki-laki tugasnya mencari. Laki-laki yang datang ke sini harus mencari wanita lain. Harus berhubungan dengan wanita lain! Seperti layaknya kera jantan yang di atas sana itu kawin dengan sembarang betina berganti-ganti. Apakah sanggup dengan persyaratan ini?”
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Ya, Mbah. Kami sanggup.”
“Nanti tepat tengah malam lakukanlah untuk mandapatkan berkah dari penunggu pulau ini. Lakukanlah sebebas-bebasnya kayak monyet yang di pohon itu. Jangan malu-malu, mereka pun tidak malu kita lihat.”
Pulau kera itu hanya dihuni oleh kera. Mereka makan buah-buahan yang ada di pulau itu. Tidak ada orang yang berani tinggal di situ. Termasuk mengambil buah-buahan yang ada di situ.
Setiap malam Jumat Legi mereka datang ke Pulau Kera. Ritual yang mereka lakukan tidak pernah dengan wanita atau lelaki lain. Mereka hanya bertukar pasangan. Semakin hari dagangan mereka semakin laris. Setiap hari semakin banyak pula mereka membeli dagangan dari nelayan. Keuntungannya semakin banyak. Mereka bersaing dalam hal dandanan. Kalung emasnya yang menyerupai rantai kapal dikenakannya di mana-mana. Gelangnya krincang-krincing setiap kali bergerak. Sebagai pedagang ikan di pasar mereka tidak lagi melayani pembeli sendiri. Mereka hanya bertugas menerima uang dari pembeli dan memberikan uang kembalian. Ada asisten yang menimbang dan membungkus ikan. Pedagang ikan yang lain banyak yang iri.
Pada Jumat kliwon ketiga belas mereka berhalangan datang ke Pulau Kera karena hujan deras. Angin kencang sehingga tidak ada pemilik perahu yang berani mengantarkan ke sana.
Seperti biasanya hari Minggu itu mereka mencari dagangan di TPI tempat para nelayan menjual ikan hasil tangkapannya. Namun Minggu itu banyak nelayan yang pulang dengan sedikit hasil tangkapan. Badai di laut telah membuat mereka kesulitan menangkap ikan. Bahkan ada perahu yang tenggelam.
Dengan sedikitnya ikan tangkapan nelayan maka para pedagang ikan berebut membeli walaupun dengan harga yang tinggi.
“Lho, Mbakyu, ikan di keranjang itu sudah saya beli.”
“Tidak bisa, saya sudah ngomong dengan Kang Peno dari tadi.”
“Saya sudah membayar.”
“Saya juga sudah.”
Mereka tarik-menarik keranjang ikan itu. Hingga ada ikan yang terlontar jatuh karena kerasnya tarikan. Adu mulut pun tak terhindarkan.
“Sudahlah lah Yu, salah satu mengalah. Ini salah saya. Saya kembalikan uang kamu.” Nelayan pemilik ikan itu menengahi.
“Tidak, saya sudah membeli ikan ini. Kembalikan uang itu pada lonthe itu!”
“Apa, kau bilang aku lonthe. Kamu sundel yang keenakan dengan suami orang.”
“Kamu sama saja. Enakan kamu yang dengan suami saya yang ganteng, gagah.”
“Tidak bisa, suami kamu ganteng tapi kecil, tidak sebesar sumiku, ngak enak, bahhh.”
Kata-kata yang meluncur dari mulut masing-masing semakin tidak terkendali. Semakin kasar. Semakin jorok. Semakin menjijikkan. Tidak sepantasnya diucapkan dihadapan kerumunan orang yang menyaksikan pertengkaran itu. Mereka tidak lagi seperti manusia. Ekspresi mereka lebih menyerupai kera.
Adu mulut sepertinya tidak cukup. Perkelahian akhirnya dilanjutkan dengan adu fisik. Tidak ada orang yang mampu melerai. Mereka saling jambak. Saling pukul. Saling tendang. Saling banting. Mereka berguling-guling. Saling cakar hingga pakaian yang mereka kenakan tidak karuan bentuknya. Compang-camping. Sobek di sana-sini. Sambil meringis mereka saling menyerang. Saling mencakar. Tinggal sebagian kecil pakaian yang mereka kenakan yang masih melekat di tubuh. Namun belum ada tanda-tanda pertarungan akan berhenti. Mereka tampak semakin buas. Ada beberapa lelaki yang mencoba menangkap kedua wanita itu, tetapi malah menjadi korban terkena cakaran pada wajahnya hingga berdarah. Orang-orang yang menyaksikan semakin ketakutan. Mereka mundur beberapa jengkal.
Perkelahian kedua wanita itu semakin sengit. Gerakan-gerakannya tidak lagi seperti wanita. Juga tidak seperti lelaki. Mereka sering mencakar dengan meloncat-loncat. Sambil berteriak tetapi seperti teriakan kera. Mereka kesurupan. Sekujur tubuhnya kelihatan karena pakaiannya robek. Darah belepotan di sekujur tubuh mereka. Mereka tetap menjambak, memukul, dan mencakar sambil meloncat-loncat.
Orang yang ada di situ semua menyaksikan. Semua orang melongo. Mereka menyaksikan dengan heran. Tidak masuk akal wanita bertengkar hingga seperti itu.
Mereka adalah monyet yang berebuk makanan. Mereka adalah monyet yang berebut pejantan. Berkejar-kejaran saling menyerang hingga salah satu kalah.
Namun kera-kera manusia yang sedang bertengkar ini sama kuatnya. Belum tampak siapa yang bakal kalah.
“Mereka kesurupan kera.”
“Ya, benar mereka kesurupan kera. Kasihan meraka.”
“Panggilkan ki dukun!”
Datanglah dukun yang diboncengkan oleh salah seorang lelaki. Setelah meminta air segelas dukun itu komat-kamit beberapa saat. Lalu air dalam gelas itu ditiupnya dengan lembut tiga kali. Dengan air dalam mulut mendekatlah ki dukun ke arena perkelahian. Disemburkannya air itu ke kedua wanita itu.
Kedua wanita itu memang bukan manusia lagi. Tanpa kata-kata keduanya kompak berbalik menyerang ki dukun. Ki dukun dihajar habis-habisan. Dijambak. Dipukul. Diterkam. Dicakar hingga babak belur dan akhirnya jatuh terjerembab di tanah. Ki dukun tak bernapas lagi kehabisan tenaga. Tak satupun orang yang berani menolong. Orang-orang semakin menjauh. Takut menjadi korban seperti ki dukun.
Orang-orang yang menyaksikan merasa ngeri, betapa sakitnya dengan kulit terkoyak-koyak seperti itu. Tetapi kedua wanita itu seolah-olah tak mersakan sakit sedikit pun.
Di tengah keputusasaan itu muncullah seorang nelayan yang membawa jaring ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan di laut.
“Mari kita jaring mereka.”
“Ya, betul. Tidak ada makhluk hidup yang mampu lepas dari terkaman pukat harimau ini.”
“Ayo.”
Semua lelaki kompak bangkit untuk mengakhiri perkelahian itu. Lelaki yang ada disitu bersama-sama memegang jaring. Mereka membentuk formasi melingkar. Dengan langkah pasti mereka maju mempersempit arena. Dan kedua wanita itu tidak bisa bergerak lagi di dalam jaring ikan. Bahkan tidak bernapas lagi. Mereka telah menjadi tumbal kekayaannya sendiri.
Dari peristiwa inilah semua orang tahu bahwa kedua wanita itu ingin kaya secara cepat dengan meminta kekayaan di Pulau Kera. Karena gerakan berkelahinya menyerupai monyet yang bertarung. Itulah orang yang dengan jalan pintas untuk mencapai tujuannya. Celaka oleh ambisinya sendiri.
“Cari uang”
“Lho, kan Abah kerja di sini, cari uang di mana lagi?”
“Sudahlah tidak usah ribut besok kalau sudah kaya tak kasih tahu di mana aku cari uang.”
Begitulah teman kerjaku yang satu ini. Biasa di panggil Abah oleh teman-teman sekantor karena dua anak perempuannya di rumah biasa memanggil Abah. Kerja di sini memang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi yang namanya manusia pasti ingin hidup lebih. Ingin kaya. Walaupun kaya itu ukurannya sangat relatif. Kaya itu identik dengan perasaan cukup. Kalau sudah merasa cukup dengan gaji perbulannya berarti sudah kaya. Bila belum merasa cukup berarti miskin. Jadi, kaya tidaknya seseorang tergantung dari cukup atau tidaknya dalam menggunakan uang yang diperoleh.
Aku jadi ingat dengan tetanggaku di kampung. Kedua wanita ini pedagang ikan. Mereka membeli ikan dari nelayan dan dari petani tambak. Kemudian menjualnya di pasar setiap hari. Tempat berjualan mereka berdampingan.
“Habis berapa kilo? Pasar hari ini sepi sekali. Dagangan yang hanya sepuluh kilo terjual separo.”
“Sama, aku juga begitu. Mungkin harga ayam turun karena isu flu burung. Banyak orang yang beli ayam.”
“Sekarang kita kaya ikan ya, Makyu.”
“Tapi teman kita Yu Harti jam sepuluh tadi sudah habis dagangannya.”
“Begitulah, Mbakyu, rezeki orang itu berbeda-beda.”
“Tapi ada yang bilang Yu Harti itu mengambil pesugihan.”
“Ah, yang benar. Yu Harti itu orangnya rajin shalat. Bahkan sering ke mushala.”
“Tapi, siapa tahu itu untuk menutupi saja.”
“Mungkin, ya. Tapi, kok tidak ada sanak saudaranya yang tiba-tiba meninggal? Biasanya pesugiahan itu kan ada tumbalnya.”
“Tidak semua seperti itu lho Mbakyu. Ada yang tumbalnya binatang.”
“Wah kalau yang begitu enak, ya.”
“Mbakyu tertarik. Bagaimana kalau kita sama-sama ke sana. Malam Jumat Legi yang akan datang kita ke sana.”
Pada hari yang ditentukan berangkatlah mereka ke pulau yang oleh masayarakat sekitar disebut pulau kera. Tekad mereka telah bulat. Mereka ingin kaya. Mereka berempat dengan suami masing-masing. Pulau itu dihuni banyak kera. Setiap orang yang ingin kaya dari situ harus menyerahkan seekor kera betina. Ada baiknya untuk menjaga kelestarian satwa yang paling mirip dengan manusia ini. Mengapa betina?
“Wanita itu yang menjaga harta benda di keluarga. Sedangkan laki-laki tugasnya mencari. Laki-laki yang datang ke sini harus mencari wanita lain. Harus berhubungan dengan wanita lain! Seperti layaknya kera jantan yang di atas sana itu kawin dengan sembarang betina berganti-ganti. Apakah sanggup dengan persyaratan ini?”
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Ya, Mbah. Kami sanggup.”
“Nanti tepat tengah malam lakukanlah untuk mandapatkan berkah dari penunggu pulau ini. Lakukanlah sebebas-bebasnya kayak monyet yang di pohon itu. Jangan malu-malu, mereka pun tidak malu kita lihat.”
Pulau kera itu hanya dihuni oleh kera. Mereka makan buah-buahan yang ada di pulau itu. Tidak ada orang yang berani tinggal di situ. Termasuk mengambil buah-buahan yang ada di situ.
Setiap malam Jumat Legi mereka datang ke Pulau Kera. Ritual yang mereka lakukan tidak pernah dengan wanita atau lelaki lain. Mereka hanya bertukar pasangan. Semakin hari dagangan mereka semakin laris. Setiap hari semakin banyak pula mereka membeli dagangan dari nelayan. Keuntungannya semakin banyak. Mereka bersaing dalam hal dandanan. Kalung emasnya yang menyerupai rantai kapal dikenakannya di mana-mana. Gelangnya krincang-krincing setiap kali bergerak. Sebagai pedagang ikan di pasar mereka tidak lagi melayani pembeli sendiri. Mereka hanya bertugas menerima uang dari pembeli dan memberikan uang kembalian. Ada asisten yang menimbang dan membungkus ikan. Pedagang ikan yang lain banyak yang iri.
Pada Jumat kliwon ketiga belas mereka berhalangan datang ke Pulau Kera karena hujan deras. Angin kencang sehingga tidak ada pemilik perahu yang berani mengantarkan ke sana.
Seperti biasanya hari Minggu itu mereka mencari dagangan di TPI tempat para nelayan menjual ikan hasil tangkapannya. Namun Minggu itu banyak nelayan yang pulang dengan sedikit hasil tangkapan. Badai di laut telah membuat mereka kesulitan menangkap ikan. Bahkan ada perahu yang tenggelam.
Dengan sedikitnya ikan tangkapan nelayan maka para pedagang ikan berebut membeli walaupun dengan harga yang tinggi.
“Lho, Mbakyu, ikan di keranjang itu sudah saya beli.”
“Tidak bisa, saya sudah ngomong dengan Kang Peno dari tadi.”
“Saya sudah membayar.”
“Saya juga sudah.”
Mereka tarik-menarik keranjang ikan itu. Hingga ada ikan yang terlontar jatuh karena kerasnya tarikan. Adu mulut pun tak terhindarkan.
“Sudahlah lah Yu, salah satu mengalah. Ini salah saya. Saya kembalikan uang kamu.” Nelayan pemilik ikan itu menengahi.
“Tidak, saya sudah membeli ikan ini. Kembalikan uang itu pada lonthe itu!”
“Apa, kau bilang aku lonthe. Kamu sundel yang keenakan dengan suami orang.”
“Kamu sama saja. Enakan kamu yang dengan suami saya yang ganteng, gagah.”
“Tidak bisa, suami kamu ganteng tapi kecil, tidak sebesar sumiku, ngak enak, bahhh.”
Kata-kata yang meluncur dari mulut masing-masing semakin tidak terkendali. Semakin kasar. Semakin jorok. Semakin menjijikkan. Tidak sepantasnya diucapkan dihadapan kerumunan orang yang menyaksikan pertengkaran itu. Mereka tidak lagi seperti manusia. Ekspresi mereka lebih menyerupai kera.
Adu mulut sepertinya tidak cukup. Perkelahian akhirnya dilanjutkan dengan adu fisik. Tidak ada orang yang mampu melerai. Mereka saling jambak. Saling pukul. Saling tendang. Saling banting. Mereka berguling-guling. Saling cakar hingga pakaian yang mereka kenakan tidak karuan bentuknya. Compang-camping. Sobek di sana-sini. Sambil meringis mereka saling menyerang. Saling mencakar. Tinggal sebagian kecil pakaian yang mereka kenakan yang masih melekat di tubuh. Namun belum ada tanda-tanda pertarungan akan berhenti. Mereka tampak semakin buas. Ada beberapa lelaki yang mencoba menangkap kedua wanita itu, tetapi malah menjadi korban terkena cakaran pada wajahnya hingga berdarah. Orang-orang yang menyaksikan semakin ketakutan. Mereka mundur beberapa jengkal.
Perkelahian kedua wanita itu semakin sengit. Gerakan-gerakannya tidak lagi seperti wanita. Juga tidak seperti lelaki. Mereka sering mencakar dengan meloncat-loncat. Sambil berteriak tetapi seperti teriakan kera. Mereka kesurupan. Sekujur tubuhnya kelihatan karena pakaiannya robek. Darah belepotan di sekujur tubuh mereka. Mereka tetap menjambak, memukul, dan mencakar sambil meloncat-loncat.
Orang yang ada di situ semua menyaksikan. Semua orang melongo. Mereka menyaksikan dengan heran. Tidak masuk akal wanita bertengkar hingga seperti itu.
Mereka adalah monyet yang berebuk makanan. Mereka adalah monyet yang berebut pejantan. Berkejar-kejaran saling menyerang hingga salah satu kalah.
Namun kera-kera manusia yang sedang bertengkar ini sama kuatnya. Belum tampak siapa yang bakal kalah.
“Mereka kesurupan kera.”
“Ya, benar mereka kesurupan kera. Kasihan meraka.”
“Panggilkan ki dukun!”
Datanglah dukun yang diboncengkan oleh salah seorang lelaki. Setelah meminta air segelas dukun itu komat-kamit beberapa saat. Lalu air dalam gelas itu ditiupnya dengan lembut tiga kali. Dengan air dalam mulut mendekatlah ki dukun ke arena perkelahian. Disemburkannya air itu ke kedua wanita itu.
Kedua wanita itu memang bukan manusia lagi. Tanpa kata-kata keduanya kompak berbalik menyerang ki dukun. Ki dukun dihajar habis-habisan. Dijambak. Dipukul. Diterkam. Dicakar hingga babak belur dan akhirnya jatuh terjerembab di tanah. Ki dukun tak bernapas lagi kehabisan tenaga. Tak satupun orang yang berani menolong. Orang-orang semakin menjauh. Takut menjadi korban seperti ki dukun.
Orang-orang yang menyaksikan merasa ngeri, betapa sakitnya dengan kulit terkoyak-koyak seperti itu. Tetapi kedua wanita itu seolah-olah tak mersakan sakit sedikit pun.
Di tengah keputusasaan itu muncullah seorang nelayan yang membawa jaring ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan di laut.
“Mari kita jaring mereka.”
“Ya, betul. Tidak ada makhluk hidup yang mampu lepas dari terkaman pukat harimau ini.”
“Ayo.”
Semua lelaki kompak bangkit untuk mengakhiri perkelahian itu. Lelaki yang ada disitu bersama-sama memegang jaring. Mereka membentuk formasi melingkar. Dengan langkah pasti mereka maju mempersempit arena. Dan kedua wanita itu tidak bisa bergerak lagi di dalam jaring ikan. Bahkan tidak bernapas lagi. Mereka telah menjadi tumbal kekayaannya sendiri.
Dari peristiwa inilah semua orang tahu bahwa kedua wanita itu ingin kaya secara cepat dengan meminta kekayaan di Pulau Kera. Karena gerakan berkelahinya menyerupai monyet yang bertarung. Itulah orang yang dengan jalan pintas untuk mencapai tujuannya. Celaka oleh ambisinya sendiri.