NGUJANG TULUNG AGUNG.jika kamu memasuki kota Tulungagung dari arah utara maka pasti kamu akan melewati desa Ngujang. Jika ada orang yang menyebut desa Ngujang maka yang terbayang pertama kali di benak orang yang mendengarnya adalah “kompleks” dan “”. “Kompleks” di sini adalah kompleks lokalisasi tempat para PSK (maaf) “menjajakan” dirinya. Sedangkan “kethekan” adalah sebuah tempat pemakaman umum yang menjadi tempat tinggal populasi beberapa ekor “kethek” atau monyet. Oleh sebab itulah tempat ini biasa disebut “kethekan” yang artinya tempat hidup monyet.MAU KAYA KLIK DISINI
“Kethekan” berada tepat di sebelah selatan sungai Brantas, di ujung utara desa Ngujang. Di sebelah selatan sungai Brantas sebenarnya ada dua tempat pemakaman umum, di sebelah timur jalan raya adalah makam orang Cina. Tempatnya agak tertutup karena di sekeliling makam dipagari hingga orang tak bisa masuk ke dalamnya. Pancen yo kuburan cino. Cino…. Cino…. Sedangkan di sebelah barat adalah makam umum, tapi kebanyakan adalah makam orang Jawa. Nah, makam inilah yang biasa orang sebut “kethekan”. Biasanya pada hari raya Idul Fitri, tempat ini ramai dikunjungi orang. Ibarat pasar, ada penjual makanan, mainan, dsb. Sekedar untuk berwisata atau geren. Tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang ingin berwisata.
Sejarahe Kethekan (Sumber dari : Juru Kunci Makam Desa Ngujang)
Dahulu kala, di desa ngantru ada sebuah pondok pesantren yang letaknya tak jauh dari desa ngujang. Sekarang pun, pondok itu masih ada dan masih eksist. Pada suatu hari, ada dua orang santri, laki-laki dan perempuan dari pondok tersebut yang bemain-main di sekitar makam. Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di tempat itu. Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa kita jumpai di situ. Dua santri itu sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di situ. Mereka bermain sambail memanjat pohon yang ada di situ.
Karena asyik bermain mereka lupa kalau ada pengajian pada hari itu. Mereka tidak datang dalam acara pengajian yang rutin diadakan pondok. Tiba-tiba seorang kyai dari pondok tersebut datang ke tempat tersebut dan bertemu dua santri tersebut. Kedua santri itu sedang memanjat pohon ketika pak kyai datang. Melihat ada dua santrinya yang tidak mengikuti pengajian, sang kyai pun menegur dua santrinya itu.
“Nduk.. le.. kowe opo ora ngaji to le? Kae lho deloken konco-koncomu podo ngaji neng pondok. Kowe kok malah penekan neng kene. Kayak kethek ae!” (Nak, kamu tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kamu sedang mengaji di pondok. Kamu kok malah memanjat pohon di sini. Seperti monyet saja!)
Menurut legenda, kata-kata kyai itu adalah kutukan bagi dua santrinya itu. Kedua santri itu konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam desa Ngujang. Monyet yang sering kita jumpai di sekitar makam desa Ngujang adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kyai pondok tersebut. Sejak saat itu, desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan yang artinya tempat menuntut ilmu (pondok).
Deso Pesugihan
Menurut cerita penduduk sekitar, desa ngujang mempunyai tempat untuk mencari pesugihan. Tempat itu adalah “kethekan”. Konon, barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan maka ia akan diberi seekor monyet yang dijadikan sebagai ingon atau peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki. Tapi sebelum kamu diberi seekor monyet kamu akan diminta untuk melakukan suatu ritual terlebih dahulu. Dan setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sini akan dimintai sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah mencari pesugihan di sini akan diundang dalam acara selamatan tersebut.