Kisah yang amat menegangkan ini terjadi sekitar dua bulan yang lalu. Ketika itu aku pergi ke kawasan Gunung Semeru di Jawa Timur, yang kata orang merupakan gunung paling angker di seantoro Tanah Jawa.
Bagiku, perjalanan ke puncak gunung merupakan suatu tantangan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Bagiku, kegiatan traveling adalah suatu kebahagiaan batin yang tiada tara, karena aku memang tidak punya banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang menjadi hobiku sejak masih SMU ini. Karena kesibukan kerja, sudah lama aku tidak bisa
melakukan hobiku yang satu ini.Bagiku, perjalanan ke puncak gunung merupakan suatu tantangan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Bagiku, kegiatan traveling adalah suatu kebahagiaan batin yang tiada tara, karena aku memang tidak punya banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang menjadi hobiku sejak masih SMU ini. Karena kesibukan kerja, sudah lama aku tidak bisa
Karena perjalanan ke puncak Gunung Semeru ini dibumbui pula dengan suatu kejadian yang berlangsung di luar nalar, maka hal ini benar-benar menjadikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.
Ya, peristiwa itu benar-benar menyeramkan dan penuh misteri. Dengan mengalaminya sendiri, aku akhirnya kian menyadari bahwa selain dunia manusia ternyata ada dunia lain yang mungkin juga mempunyai peradaban dengan bentuk dan hokum-hukum tersendiri. Aku juga benar-benar bisa membuktikan semua cerita tentang keangkeran Gunung Semuru setelah aku mengalaminya sendiri.
Saat itu, aku dan keempat orang temanku telah sampai di sebuah titik ketinggian, namun belum sampai pada puncak Semuru. Untuk sekedar melepas lelah, kami istirahat di dalam sebuah goa yang sangat besar dan gelap. Kebetulan sekali kami menemukan goa itu, sebab tak lama kemudian tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Padahal, sebelumnya tidak ada tanda-tanda alam, seperti mendung, yang selalu mengiringi datangnya hujan.
Kami merasa sangat beruntung sebab dengan berada di dalam goa itu tubuh kami tidak kehujanan. Untuk mengusir hawa dingin sekaligus mengatasi kegelapan ruang goa, kami menyalakan lampu yang telah kami desain sedemikian rupa hingga mudah kami bawa. Tak hanya itu, kami juga membuat api unggun dengan menggunakan ranting-ranting kering yang ada di dalam goa. Setelah itu kami pun membakar roti dan bermain gitar sambil bernyanyi riang. Pokoknya kami benar-benar happy saat itu.
Satu jam kemudian, hujan mulai reda. Rasa letih, lapar dan dahaga pun telah terobati. Karena itu kami putuskan untuk bergegas melanjutkan perjalanan yang tinggal setengah hari lagi. Kami takut kemalaman sebelum sampai ke puncak gunung tersebut.
Sebelum aku meninggalkan goa tersebut, keempat temanku sudah berada di luar goa. Jadi, hanya tinggal aku yang masih berada di dalam. Maklum, aku memang agak lamban memberesi perbekalan yang kuwaba.
Setelah semua perbekalanku terbungkus dalam tas rangsel kesayanganku, tiba-tiba aku menemukan setandang pisang raja tergeletak di bawah sebongkah batu besar tak jauh dari tempat kami membuat api unggun tadi. Tanpa perasaan curiga walau sedikitpun, dengan cekatan aku mengambilnya. Bahkan aku juga memetik satu kemudian dengan nikmatnya kumakan oisah itu.
Setelah menghabiskan satu pisang itu, keanehan tiba-tiba saja terjadi. Pandangaku jadi kabur, dan detik berikutnya aku tidak bisa melihat sama sekali. Dengan panic aku berteriak memanggil teman-temanku. Untunglah, tidak lama kemudian mereka bergegas datang.
“Ada apa, apa yang terjadi denganmu?” Tanya salah seorang temanku.
Dengan gugup aku menjawabnya, “Entahlah! Ti…tiba-tiba saja mataku jadi buta. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi!”
Keempat temanku pun sepertinya mulai panik. Setidaknya ini kurasakan dengan ketergesa-gesaan mereka yang menuntunku ke luar dari goa tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? Benarkah yang datang dan menuntunku ke luar dari dalam goa itu adalah keempat orang teman-temanku?
Tidak! Ketika pandanganku kembali normal, maka betapa terperanjatnya aku. Yang menuntunku keluar dari goa itu ternyata bukanlah teman-temanku. Mereka adalah manusia-manusia bertampang seram, dengan wajah rusak dan hancur. Baju mereka memang sama dengan baju-baju temanku, tapi tampang mereka, benar-benar asing dan sangat menyeramkan. Aku berusaha lepas dari cengkraman tangan mereka. Ya, aku berusaha secepatnya kabur.
Tapi tangan mereka yang berbulu lebat dan kokoh itu benar-benar membuatku tak berkutik. Bahkan yang terjadi kemudian, aku tak punya nyali lagi untuk melanjutkan pemberontakanku.
“Kumohon, jangan sakiti aku!” Aku mereng seperti anak kecil.
Tapi mereka mana mau peduli. Dengan sangat kasarnya mereka memaksaku untuk mengikutinya berjalan.
Sebelum mereka lebih jauh membawaku pergi, sulit kuceritakan bagaimana awalnya, yang pasti tiba-tiba saja nyaliku kembali muncul. Niatku untuk kabur dan lepas dari mereka seketika bangkit. Dengan sekuat tenaga kutendang salah satu dari mereka.
Usahaku ini berhasil. Karena begitu kuatnya tendanganku, salah satu dari mereka jatuh terguling. Saat itulah aku berhasil berlari sekuat tenaga. Tanpa peduli halangan yang menghadang di hadapanku, aku terus berlari dan berlari.
Setelah beberapa saat lamanya berlari, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Apa yang terjadi?
Astaghfirullah! Mereka telah lenyap dari pandangan mataku. Mereka benar-benar tidak ada. Lalu aku memberanikan diri untuk berhenti dan beristirahat, tapi tiba-tiba dadaku berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak! Dalam waktu sekedipan mata, keempat makhluk menyeramkan itu telah berdiri di depanku dengan senyum menyeringai mirip srigala yang kelaparan.
Aku menggigil ketakutan. Melihatku seakan-akan tak berdaya lagi, salah satu dari mereka berkata, “Kamu telah memakan pisang kami, jadi kamu harus ikut kami untuk mempertanggungjawabkan perbautanmu!”
“Jadi pisang itu pisang kalian? Kalau begitu maafkanlah aku, ya!” Ujarku dengan memberanikan diri.
“Enak saja minta maaf. Pisang itu adalah pisang persembahan buat raja kami. Jadi kamu harus minta maaf pada raja kami!” Tegas yang seorang lagi.
Sepertinya, mereka tak memberikan kesempatan padaku untuk membela diri. Buktinya, sekejap kemudian, mereka bertepuk tangan tiga kali. Dan sungguh ajaib, tiba-tiba di depan kami telah berdiri kereta kencana dengan enam kuda putih yang sangat gagah. Tanpa banyak bicara, mereka memaksaku untuk menaiki kereta kencana tersebut. Dan sulit bagiku untuk menolak ajakan mereka, sebab mereka jelas bukanlah lawan yang sepadan denganku.
Segalanya terjadi dengan begitu cepat. Dalam beberapa kedipan mata saja, kami sudah sampai di depan sebuah istana kerajaan yang sangat mewah dengan beberapa pengawal yang juga bertampang menyeramkan. Tidak lama kemudian, muncul seorang raja yang tampan dan permaisuri yang sangat cantik jelita. Raja dan permaisurinya kelihatan begitu anggun dan berwibawa.
“Hai, Kisanak! Kamu telah memasuki kerajaan kami…kamu telah berani memakan pisang persembahan buatku. Untuk itu kamu harus aku hukum!” Kata sang raja.
“Tapi saya tidak sengaja memakannya. Saya kira itu milik teman-temanku!” Ujarku dengan suara gemetar.
“Manusia memang pintar mencari alasan. Seret dia dan gantung di atas pohon cemara!” Perintah sang raja dengan marah.
Empat orang prajurit langsung menyergap dan menyeretku ke suatu tempat mirip alun-alun. Sungguh menegangkan, tidak lama kemudian, aku benar-benar digantung di atas pohon cemara. Kedua tanganku diikat. Hujan dan angin kencang menampar sekujur tubuhku. Kadang-kadang panas matahari yang menyengat membakar sekujur tubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku benar-benar takluk dan tidak berkutik dengan ikatan yang teramat kuat itu.
Yang bisa kulakukan hanya menangis dan memendam kesedihan dalam hati. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya akan mengalami kejadian seperti ini. Aku meratapi kerapuhan hatiku, yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiranku. Di alam nyata aku adalah seorang kuat dan tabah dalam menghadapi keadaan walau seburuk apa pun juga. Didepan teman-temanku sesama pecinta alam dulu aku dikenal paling jago, aku juga paling pemberani. Tapi sekarang, aku benar-benar rapuh. Aku benar-benar lemah dan tak berdaya.
Di tengah-tengah keputusasaanku, lambat-lamat terdengar suara-suara yang memanggil-manggil namuku. Anehnya, aku sama sekali tak menemukan siapa gerangan orang yang memanggil-manggil namaku itu. Bahkan bayangan orang seditik pun sama sekali tak terlihat olehku.
Lambat laun, suara-suara itu semakin lama semakin keras terdengar, “Galih pulang. Galih…kami di sini mencarimu!”
“Baca ayat-ayat Al-Qur’aan…baca ayat Qursyi dengan sepenuh hatimu, teman!” Kata suara yang lain.
Aku mulai yakin, suara-suara itu sebagian tak lain adalah suara teman-temanku. Dan benar, kata mereka bahwa aku harus membaca ayat-ayat Al-Qur’an jika aku tersesat ke dunia lain. Hal itulah yang kemudian kulakukan.
Dengan hati yang khusyuk, aku mencoba berdoa kepada Allah. Seterusnya aku membaca ayat Qursyi. Berulang-ulang dan sebanyak-banyaknya.
Demi Allah, keajaiban tiba-tiba datang di depan mataku. Sesaat setelah aku membaca ayat Qursyi pada hitungan yang ke 125, tiba-tiba petir datang menyambar dadaku. Seketika sekujur tubuhku panas, dan aku terus mencoba membaca ayat Qursyi. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
Setelah aku siuman, tahu-tahu aku sudah berada di atas tempat tidur. Papa dan mama menangisiku dengan penuh haru. Namun, mereka bahagia melihat aku telah sadarkan diri.
Aku juga melihat keempat teman-temanku yang ikut serta dalam acara pendakian ke Gunung Semeru itu. Sama seperti kedua orang tuaku, mereka juga ikut tersenyum lega melihat aku telah siuman. Kepada Alul, salah seorang sahabatku, aku bermaksud bertanya tentang apa yang telah terjadi terhadap diriku. Tapi sungguh aneh, aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Suaraku yang tegas dan lantang, sama sekali tidak keluar. Ya, Allah, aku sepertinya telah berubah jadi bisu.
Hanya air mata yang menganaksungai di atas wajahku meratapi kenyataan itu. Untunglah Alul segera berinisiatif untuk memanggil seorang Ustadz. Setelah aku meminum segelas air putih pemberian Ustadz Hady, pelan-pelan suaraku mulai muncul kembali. Alhamdulillah!
Lantas, apa sebenarnya yang telah terjadi menimpa diriku?
Menurut cerita teman-teman, ketika itu aku ditemukan tergeletak di atas sebuah bukit yang oleh warga sekitar dikenal dengan nama Bukit Batu Hitam. Bayangkan, bukit tersebut sangat curam dan dalam sekali. Dan ini sungguh suatu keberuntungan yang sangat langka, sebab aku masih bisa selamat. Diperkirakan, jarak dari tempat asalku berteduh didalam goa dengan lokasi Bukit Batu Hitam sekitar satu kilo meter. Anehkan? Padahal, aku sepertinya hanya bergerak dari goa itu beberapa meter saja.
Kemudian aku bertanya pada teman-teman, bagaimana mereka bisa menemukanku? Kata mereka, setelah ditunggu beberapa saat, aku tidak keluar dari goa, mereka masuk ke dalam goa. Tapi, ternyata aku tidak ada di sana. Mereka semua jadi bingung dan ketakutan. Akhirnya, mereka menghubungi sesepuh desa di sekitar lereng gunung. Mereka bertemu dengan Ustadz Hady. Setelah dilakukan penerawangan oleh Ustadz, keberadaanku bisa terdeteksi. Akhirnya mereka bersama Ustadz melakukan ritual pemanggilan arwahku.
Setelah Ustadz Hady melempar seekor kambing jantan warna hitam pekat ke lereng Bukit Batu Hitam yang curam dan dalam, beberapa menit kemudian tubuhku terbang ke atas dan dengan sangat tangkas Ustadz Hady menangkap tubuhku. Sekali lagi, ini suatu keanehan yang sulit dicerna akal sehat.
Jujur, mulanya aku ragu dengan semua cerita tersebut. Tapi setelah kurenungi peristiwa demi peristiwa yang kualami, hingga akhirnya aku tergeletak di atas tempat tidur, satu hal yang kuperoleh adalah aku jadi semakin yakin dengan segala kebesaran Allah SWT.
Sungguh, kejadian ini telah memberiku suatu pelajaran yang sangat berharga. Setidaknya aku kian meyakini, bahwa di manapun kita berada, kita jangan suka main serobot seenaknya, sebab sekali kita lancang berani mengambil yang bukan haknya, kita akan mendapatkan celaka.