CERITA berikut ini merupakan kisah nyata, yang diceritakan seseorang bernama Wagiran yang tinggal di Wates Jogyakarta kepada penulis. Cerita Wagiran sebagai berikut.
Saya seorang tukang poles gabah, yaitu gabah yang digiling menjadi beras. Tugasku menggangkat gabah-gabah itu ke penggilingan, kemudian hasilnya aku masukkan dalam karung-karung beras. Sebagai buruh gilingan, tentunya gajiku cukup untuk makan saja. Sementara istriku Yanti, hanya ibu rumah tangga. Kami dikaruniai anak laki-laki, dan aku beri nama Heri. Rasa lelah sehabis kerja seharian hilang, begitu melihat Heri anakku menyambutku sambil berlari-lari kecil. Tahun 1986, Heri genab berumur 3 tahun. Awalnya kehidupan rumah tangga kami biasa-biasa saja, tetapi satu tahun kemudian semuanya itu menjadi hancur berantakan. Yach, gajiku tak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, akhirnya istriku tak tahan hidup serba kekurangan. Dia lari dengan laki-laki lain yang kaya.
Memang aku tidak bisa menyalahkan istriku, hidup denganku sangat susah dan pahit. Setelah istriku dan anakku pergi hidupku bagai kapal tak bernahkoda. Sedih, hancur, tanpa harapan menghantui pikiranku. Hidup ini menjadi tidak ada gunanya. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hidupku dengan jalan bunuh diri. Malam itu aku mendatangi makam raja-raja Jawa di Girigondo (sebelah utara Pantai Glagah Indah, wilayah Kulon Progo Jogjakarta). Makam Giri Gondo berada di atas bukit yang sangat tinggi, makam itu sangat terkenal di daerahku. Untuk sampai ke makam Giri Gondo harus mendaki tangga yang berjumlah sangat banyak, memang beberapa orang mencoba menghitung tangga itu, tetapi hasilnya satu sama lain pasti berlainan.
Hari mulai gelap, tangga makam Giri Gondo aku tapaki satu demi satu. Harapanku setelah sampai puncak, aku akan melompat ke jurang sebelah utara makam. Kurang lebih jam 22.00 malam, aku sampai puncak makam, walau di atas gunung, makam raja-raja Jawa ini cukup luas. Suasananya bersih, tertata rapi. Raja-raja Jawa dimakamkan di dalam yang berpagar besi, sedang untuk para abdi dimakamkam masih di lokasi Giri Gondo akan tetapi tidak berpagar. Memamg di hari-hari libur makam ramai didatangi orang-orang yang akan berziarah. Salah satu batu nisan raja Jawa ada yang dilapisi emas murni. Mungkin ini menjadi daya tarik para peziarah yang berkunjung kemakam Giri Gondo.
Karena kelelahan, aku duduk bersandar di pintu masuk utama makam raja-raja. Kantuk begitu menyerangku, karena sudah tidak tahan, aku rebahkan tubuhku di antara kanan kiri batu nisan. Tiba-tiba aku terbangun, hawa dingin ditambah bau kamboja begitu menyengat hidung. Tak lama kemudian aku lihat burung pipit berlompatan di antara batu nisan, burung menghilang, aku lihat dengan sangat jelas orang berpakain putih melompat-lompat, aku coba dekati, ya itu pocong, benar, betul-betul pocong, dia berikat di atas kepala. Tak ada perasaan takut. “Aku kesini memang ingin mati,” pikirku.
Pundakku terasa dipegang seseorang, begitu aku tengok, kekek-kakek berjenggot panjang dan berwarna putih. Kakek itu bertanya kepadaku mengapa malam-malam begini di makam. Aku sampaikan bahwa akau mau bunuh diri, dengan alasannya aku ceritakan semua masalah yang menimpaku. Kakek itu mangatakan bahwa hidupku masih panjang dan itu harus dilanjutkan. Kakek berjenggot itu memeberikan selembar daun, dalam daun itu tertera angka-angka. “Kakek selama saya hidup, saya belum pernah membeli nomor, untuk makan saja susah, mana bisa beli nomor,” kataku. “Coba saja, apabila berhasil kamu harus menyembelih 36 ekor ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi, semua itu harus kamu bagikan di penduduk sekitar makam,” kata kakek.
Aku diam dan kakek itu berjalan pergi. “Kek, rumah kakek dimana,” tanyaku. Dia menunjuk ke arah sebelah utara. Kemudian kakek itu menghilang bagai terbawa angin. Pagi harinya aku mencoba mencari rumah kakek tua itu, yang aku lihat sebatas pandangan mata, hanya jurang dan lembah yang menganga bersama hutan lebat. “Aneh mana ada rumah di tempat seperti itu,” gumanku.
Keinginanaku unyuk bunuh diri aku urungkan, petuah-petuah dari kakek berjenggot itu membuat aku punya semangat hidup lagi. Aku turuni tangga makam Giri Gondo satu demi satu, aku masih berpikir, dari mana mendapatkan uang untuk beli nomor SDSB ( Sumbangan Sosial Dana Berhadiah). SDSB waktu itu dilegalkan oleh pemerintah, yang menangani Departeman Sosial.
Satu-satunya harta milikku, hanyalah sebuah sepeda ontel, ya sepaeda ontel. Tanpa pikirr panjang, sepeda ontel aku jual dengan harga Rp 30.000, uang itu sudah banyak, dikarenakan tahun 1987 negara kita belum kena krisis moneter. Cepat-cepat aku beli kupon SDSB, tulisan angka-angka dalam daun masih terlihat dengan jelas.
Sambil menanti datangnya pengumumam undian SDSB, aku duduk-duduk di tepi sungai, tidak aku pikirkan, apakah nanti aku dapat undian atau tidak. Begitu pengumuman tiba, nomor SDSB yang aku beli keluar empat angka dengan tepat, bak disambar petir, gemetar seluruh tubuhku, “Aku mau jadi orang kaya,” teriakku.
Aku urus uang undian itu, dan yang aku dapat Rp 2 miliar. Seperti kata kakek, di Girigondo aku adakan selamatan dengan menyembelih 36 ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi. Aku tukarkan uang Rp 200 juta ke bank, kemudian uang itu aku bagikan pada warga Giri Gondo.
Setelah semuanya selesai, hidupku mulai tertata kembali, kubeli rumah yang ukuran besar, aku juga memulai bisnis jual beli motor. Masih juga punya usaha yang lain, semua itu yang menangani adikku. Kini rumahku sudah ada di beberapa tempat, secara materi aku tidak kekurangan. Istri dan anankku Heri kembali lagi, kini istriku ada 3 dengan masing-masing memegang usaha sendiri-sendiri. Aku sendiri punya 5 cabang penggilingan padi. Sementara aku bekerja kembali menjadi buruh, dimana aku dulu bekerja. Tetapi aku bekerja hanya sebagai hiburan, selakigus mengenang bahwa aku dulunya orang yang sangat miskin dan kini apa yang akan aku inginkan bisa aku dapat. Lambat laun usahaku berkembang dengan pesat, tiada kata yang aku ucapkan selain terima kasih kepada kakek berjenggot putih.