KONSULTASI HUB.mbahkahono@gmail.com

Gagal Menjalankan Ritual Pesugihan, Aku Dihantui Bayangan Gaib

Namaku sebut saja Thamrin. Rumah tangga yang kubina selama hampir 12 tahun dengan Nurtiyah, istriku, selama ini semuanya selalu berjalan dengan harmonis dan penuh ketentraman. Dari pernikahan itu, kami sudah dikaruniai dua orang anak. Yang bungsu sudah kelas enam SD, sedang yang sulung hampir tamat SMP.
Walau gajiku sebagai pegawai negeri sipil (PNS) golongan rendah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi isteriku tidak pernah mengeluh. Dia juga tidak pernah menuntut hal yang macam-macam. Malah, dengan tekunnya Nurtiyah ikut membantu perekonomian keluarga. Wanita yang selalu setia dan mengerti diriku ini berjualan makanan kecil-kecilan, yang kemudian dititipkan di warung-warung langganan.
Untungnya memang cukup lumayan untuk sekedar menambah ongkos dan uang jajan anak-anak.
Jika kehidupan ini diibaratkan bagai sebuah pendulum, maka pendulum nasibku memang enggan untuk berubah. Ketika aku tengah mencoba untuk tawakal menjalani hari-hariku yang berat, tanpa diduga sedikitpun cobaan itu tiba-tiba datang menerpaku. Ya, aku harus menghadapi sebuah tuduhan keji yang dilontarkan oleh atasan baruku di kantor. Manusia arogan itu tanpa tenggang rasa sedikitpun melabeli diriku telah menjadi seorang koruptor.
“Uang itu tidak akan merubah hidupmu jadi kaya raya, Pak Thamrin. Sebaiknya kau kembalikan saja sebelum seluruh pegawai di kantor ini mengetahui kasusnya.”
Sungguh menyakitkan kata-kata itu. Harga diriku benar-benar sangat direndahkan olehnya.
“Bagaimana saya harus mengakuinya, Pak? Padahal, saya tidak pernah tahu dengan uang itu,” jawabku dengan getir.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Tetapi yang penting kau ingat, kasus ini akan menjadi catatan tersendiri buatmu. Saya bisa saja melaporkan hal ini kepada atasan langsung, sehingga karirmu akan sulit untuk berkembang,” ancamnya sambil segera menyuruhku ke luar dari ruangannya.
Sepertinya aku memang tak diberikan kesempatan untuk membela diri. Tuduhan itu rupanya harus kutelan mentah-mentah, sebab sebagai pegawai Tata Usaha yang ditugaskan mencatat keluar masuknya uang sebelum dilaporkan ke Bendahara, aku memang harus bertanggungjawab penuh atas kejadian yang dituduhkan itu. Tetapi Demi Allah, aku tidak pernah menggelapkan uang kantor. Aku bahkan tidak tahu dengan jumlah uang yang dituduhkan. Aku menduga ada pihak-pihak lain yang bermain di balik persoalan ini.
Sulit digambarkan betapa hancurnya perasaanku menerima tuduhan itu. Rasa sakit hati yang sedemikian perih mempengaruhi jiwaku saat itu. Mendadak saja muncul keinginan kuat dalam hatiku untuk cepat menjadi orang kaya. Dengan kekayaan yang kumiliki, tentunya aku tidak akan pernah direndahkan oleh orang lain. Dengan kekayaan itu pula aku bahkan bisa membeli jabatan yang kuinginkan, seperti yang selama ini dipraktekkan oleh orang-orang berkantong tebal.
Aku juga sudah bosan dengan hidup yang serba pas-pasan, dan malah cenderung kekurangan. Aku tak tega melihat isteriku terus membanting tulang setiap pagi mempersiapkan kue-kue dagangannya, guna meringankan beban perekonomian keluarga.
“Seandainya aku ditakdirkan menjadi orang kaya, pasti kehidupan isteri dan anak-anakku tidak akan pernah kekurangan lagi. Apa saja yang mereka butuhkan, pasti bisa kupenuhi.” Begitulah lamunan yang sering muncul dalam benakku, terutama ketika aku berada dalam kesendirian.
Barangkali karena kebanyakan melamun, tanpa kusadari aku mulai sering mendengar bisikan-bisikan gaib, yang aku sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Suara gaib itu mengatakan seperti ini, “Thamrin, kalau kau ingin menjadi orang kaya, kau harus berpuasa dan berendam di sungai selama empat puluh malam berturut-turut. Kau juga harus tinggal di surau kecil dekat sungai itu. Nanti aku akan memberimu zikir-zikir sakti yang bisa mendatangkan kekayaan. Percayalah, secepatnya kau akan menjadi kaya raya, Thamrin!”
Bisikan-bisikan gaib itu sangat sering kudengar, sehingga lambat laun semakin merasuki jiwaku. Mungkin karena itulah akhirnya aku jadi malas bekerja. Setiap pagi aku memang berangkat dari rumah dan berpamitan kepada isteriku. Tapi bukannya berangkat ke kantor, melainkan menyendiri di surau kecil dekat sungai itu. Ya, surau ini persis sekali seperti yang digambarkan lewat bisikan gaib yang selalu kudengar.
Sungguh sulit kupahami, aku merasa betah sekali duduk berlama-lama di dalam surau dekat sungai itu. Ketika tiba waktu sholat Dzuhur, Ashar atau Maghrib, memang ada beberapa orang yang datang ke surau itu untuk sholat berjamaah. Kadangkala, aku juga ikut menjadi makmum, meski sholatku tidak pernah khusyuk karena pikiranku yang melantur jauh entah kemana.
Anehnya, selepas Maghrib dan hari menjelang malam, aku merasa enggan untuk meninggalkan surau. Bahkan setelah beberapa hari menyendiri di sana, suatu malam akhirnya aku memutuskan tidur di surau. Sejak saat itu, aku lebih sering berada di surau, daripada di rumah, maupun di tempat kerja. Setiap hari, kerjaku cuma menyendiri. Begitu larut dan asyiknya, sehingga aku tidak pernah lagi memikirkan perasaan lapar dan haus. Satu-satunya yang terus menari-nari dalam benakku, adalah keinginan untuk menjadi orang kaya secepatnya.
“Kenapa kau tidak pulang, Pa? Kamu tidur kemana?” Tanya isteriku saat malam pertama aku memutuskan tidur di surau.
“Aku tidur di surau kecil dekat sungai itu, Ma! Aku ingin menenangkan pikiranku,” jawabku.
Nurtiyah hanya menarik nafas berat. Dia memang tahu persis kalau aku tengah menghadapi persoalan yang sangat berat di kantor. Dia sendiri merasa tidak terima kalau suaminya dituduh sebagai koruptor.
Memang, sampai sejauh ini Nurtiyah, istriku tidak pernah tahu, kalau aku sudah sering bolos kerja. Belakangan, karena sering bolos kerja, aku mendapat teguran keras dari atasanku. Bahkan aku diancam akan mendapatkan sangsi keras seandainya bolos lagi.
Tetapi, teguran atasanku itu tak pernah kuhiraukan. Mungkin seandainya aku pegawai swasta, sudah pasti aku dipecat. Untunglah aku seorang PNS, yang membutuhkan prosedur panjang untuk urusan pemecatan. Aku tahu persis hal yang satu ini.
Celakanya, setelah aku sering tak masuk kantor, akhirnya aku dimutasikan ke tempat yang betul-betul tidak kuharapkan sebelumnya. Bidang pekerjaanku yang baru ini ibaratnya sebagai ‘tempat buangan,’ yang sama sekali tak ada obyekannya. Otomatis, sejak itu gairah kerjaku kian menurun drastis. Akhirnya, aku memutuskan tak masuk kerja lagi, meski aku tak pernah menulis surat pengunduran diri atau meminta pensiun dini. Aku hanya bersikap masa bodoh.
Setelah pasif dari pekerjaan, yang aku lakukan tiap hari hanya menyendiri di surau kecil itu. Hingga lambat laun, isteriku akhirnya tahu juga kalau aku sering berada di surau itu. Maka, mulailah dia sibuk menasihati dan mengingatkan tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Namun, bukannya menyadari kekeliruan, aku malah semakin cuek bebek saja. Peringatan dan nasihat istriku tak pernah kugubris sama sekali. Kalau tidak dijemput oleh istri dan anak-anakku, aku tidak pulang ke rumah. Aku lebih senang tinggal di surau sekalipun tidak makan dan minum.
Melihat tingkahku yang sering menyendiri, bahkan hampir tiap malam tidur di surau, banyak orang yang akhirnya menilaiku sudah seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat. Tapi sekali lagi, aku tidak mempedulikan mereka.
Semula, isteriku masih sering memperhatikan diriku. Entah dari mana dia mendapatkan uang untuk masak, setiap hari dia masih mengirimi makanan ke surau. Tetapi, selang beberapa waktu kemudian, tak ada lagi yang mengirimiku makanan.
Sementara pula, aku juga tidak tahu, apakah aku sudah dibebastugaskan dari pekerjaan atau belum. Yang jelas, aku sudah tak peduli lagi tentang semuanya ini.
Sekitar tiga bulan aku menjadi penghuni tetap surau itu, tiba-tiba kabar yang mengejutkan itu datang. Istriku berniat akan menikah lagi dengan seorang duda kaya. Aku tersenyum pahit seorang diri. Sungguh tak mengherankan jika ada lelaki lain yang tertarik pada Nurtiyah. Selain masih muda, isteriku juga berwajah cukup cantik. Bentuk tubuhnya pun masih sekal, padat dan berisi.
Sekejap, rasa cemburu itu datang. Tetapi aku tidak bisa menyalahkan Nurtiyah, kalau akhirnya dia memilih laki-laki itu. Meski sudah agak berumur, duda kaya itu tentunya sanggup menafkahi istri dan kedua anak-anakku. Hal ini jauh dibandingkan diriku yang selama ini hanya mampu memberikan janji dan mimpi-mimpi manis.
“Percayalah, aku akan segera kaya. Makhluk gaib itu akan memberikan ilmu saktinya kepadaku!” Kataku suatu hari kepada Nurtiyah.
“Iya, tapi kapan hal itu terjadi? Apakah harus menunggu isteri dan anak-anakmu mati kelaparan?” Sergahnya.
Ingat pada kejadian itu, tanpa penyesalan sedikit pun aku memutuskan untuk menceraikan isteriku. Anak-anakku juga tidak merasa keberatan atas keputusan ini.
Perpisahan dengan isteri justeru kurasakan semakin memantapkan niatku semula, yaitu bertapa di surau itu. Yang terjadi kemudian, aku makan dan minum hanya seketemunya saja. Kalau ada orang yang berbelas kasihan kepadaku dan memberikan sepiring nasi, ya kumakan. Kalau tidak ada, aku berpuasa. Dan yang paling penting, orang-orang kampung telah menganggapku tidak waras lagi karena aku berdiam di surau itu.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, setiap malam yang aku kerjakan hanya berzikir, yang kuulang sampai beribu-ribu kali. Lafadz zikir ini sendiri kudapatkan lewat bisikan gaib. Ya, sesuai dengan janjinya, makhluk yang hanya kudengar suaranya itu memang memberikan bacaan zikir yang aneh itu kepadaku. Katanya, dengan zikir ini kekayaan akan menghampiriku. Sejak itu pula, setiap malam aku tekun mengamalkan zikir itu. Rasanya mulutku sampai berbusa-busa, dan punggungku terasa pegal sekali.
Telah berpuluh-puluh malam, aku berzikir tanpa mengenal lelah. Namun, aku belum juga mendapatkan petunjuk apa-apa tentang harta yang dijanjikan. Hingga tiba suatu malam, ketika aku sedang asyik berzikir, samar-samar aku mendengar suara berisik dari luar surau. Rupanya hujan turun dengan deras di luar sana. Suara petir menggelegar bersahut-sahutan, kilat menyambar-nyambar mengerikan. Namun, aku tetap duduk bersila, sambil melafadzkan dzikir gaib itu.
Ketika aku tengah larut dalam ritual itu, entah dari mana datangnya, seekor ular sanca sebesar paha orang dewasa, tiba-tiba muncul dari pintu depan surau. Ular besar itu merayap ke arahku. Mulutnya mendesis-desis, mengeluarkan bau anyir.
Antara rasa takut akan dipatuk dan rasa tak percaya pada apa yang kulihat, mulutku terus saja komat-kamit melantunkan zikir. Anehnya, semakin keras zikir kukumandangkan, maka semakin dekat pula ular sanca itu bergerak ke arahku.
Sadar bahwa ular itu akan betul-betul mematukku, aku buru-buru berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk menghindar. Secepat kilat, aku meloncat ke luar, mengambil kentongan bedug. Celakanya, ular itu pun meliuk dengan cepat, kembali memburu ke arahku. Ketika kepala ular itu sudah hampir sampai di kakiku, dengan sigap kuayunkan kentongan bambu itu di kepalanya. Dengan geram berkali-kali hal ini kulakukan. Terdengar desisan panjang, seperti suara orang yang mengaduh kesakitan. Bagai orang yang sedang kesurupan setan, saat itu aku terus memukul kepala si ular. Aku baru menghentikan pukulan-pukulanku, setelah melihat ular itu benar-benar mati dan kepalanya tidak berbentuk lagi.
Sambil berusaha mengendalikan tarikan nafasku, kutarik bangkai ular itu, lalu kulemparkan ke sungai. Aku nyaris muntah ketika bau darah menyengat hidungku. Anyir bercampur bau busuk.
Setelah membersihkan darah ular yang menggenangi lantai surau, aku duduk kelelahan, sambil tak habis-habisnya memikirkan kejadian yang bagiku sangat aneh itu. Ya, kenapa tiba-tiba ular itu menyerangku? Apakah ular itu binatang sungguhan, atau mungkin makhluk jadi-jadian?
Setelah lelah berpikir, aku memutuskan untuk tidak berzikir lagi. Aku merasa tak ada gunanya meneruskan ritualku.
Siang hari setelah malamnya kualami kejadian yang sangat menegangkan itu, aku melihat kerumunan sejumlah orang di hulu sungai. Persisnya di tempat yang biasa dipakai oleh para ibu rumah tangga mencuci pakaian dan mandi. Menurut keterangan salah seorang warga, mereka baru saja menangkap seekor ular sanca besar di tempat itu. Ular sanca itu hampir menelan korbannya, seorang anak kecil yang sedang ikut mencuci bersama ibunya. Untung saja, ada seorang pawang ular yang kebetulan lewat di tempat itu. Dan, nyawa anak itu pun dapat terselamatkan.
“Kalau air sungai sedang meluap seperti ini, ada saja ular yang tertangkap oleh kami. Di hulu sungai ini memang ada sarang sanca. Tetapi entah di mana tepatnya, saya sendiri juga belum tahu,” kata pawang yang berhasil menangkap ular sanca itu.
Maka, secara beramai-ramai, ular sanca sepanjang hampir dua meter itu digotong ke rumah pawang. Kulihat ular itu hampir sama besarnya dengan ular sanca yang kubunuh tadi malam. Aneh, apakah ular itu sama dengan ular yang menyatroniku tadi malam?
Malam berikutnya, sengaja aku tak tidur, karena aku ingin mendapatkan petunjuk seperti yang selama ini kuharapkan. Sampai sejauh ini, aku tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa caraku yang kulakukan jelas telah salah kaprah. Apakah mungkin orang bisa kaya mendadak hanya dengan berzikir, berpuasa, dan melek sepanjang malam, tanpa bekerja apapun? Mana mungkin aku akan mendapatkan uang?
Sebelum kesadaran itu datang sepenuhnya, bisikan-bisikan gaib itu pun kian gencar kudengar, dan sepertinya menggema begitu saja dalam gendang telingaku. Bahkan belakangan, bisikan gaib itu terdengar seperti suara seorang wanita yang sangat lembut menggoda.
“Thamrin, kalau kau ingin cepat menjadi orang kaya, kau harus berendam setiap malam di hulu sungai itu. Lakukan selama empat puluh malam berturut-turut. Dan, ingat! Selama berendam, kau harus telanjang bulat dan tidak boleh diketahui orang lain. Selain itu juga kau harus menjalankan puasa selama empat puluh hari penuh. Sebelum waktu adzan Subuh tiba, kau sudah harus menghentikan ritualmu itu!”
Suara itu memang terdengar pelan, namun cukup jelas di telingaku. Masalahnya, apakah aku akan sanggup semalaman berendam di sungai? Hiii…rasanya aku tak akan berani untuk melakukannya. Aku takut penyakit rematikku akan kambuh. Lebih-lebih, aku takut digigit ular sanca, yang menurut pawang, sarangnya berada di hulu sungai.
Ya, hatiku memang menolak untuk menuruti bisikan gaib itu. Tapi anehnya, keesokkan malamnya, bisikan gaib itu kembali datang. Bahkan sekali ini terdengar lebih keras lagi, juga diiringi suara tawa cekikikan, yang nadanya mencemoohkan diriku.
“Ha…ha…ha…! Ternyata kau laki-laki pengecut, Thamrin! Kau ingin jadi kaya raya, tapi kau tidak mau bersusah payah!”
Setengah percaya dan tidak aku saat mendengar suara gaib itu. Aku juga berusaha untuk tidak menggubrisnya. Tapi entah bagaimana, sementara itu pula tekadku ingin menjadi orang kaya semakin berkobar-kobar. Terlebih ketika aku teringat perlakuan banyak orang yang semakin mengucilkan diriku. Bahkan, anak-anak kecil juga mulai sering menggangguku, dengan mengejek dan melempariku.
Ingat akan perlakuan yang tidak adil ini, hatiku semakin berontak. “Ya, aku harus menjadi orang kaya, agar dihormati semua orang!” Tekadku dalam hati.
Akhirnya, aku memang nekad menuruti bisikan-bisikan gaib, yang selalu saja menyuruhku untuk berpuasa dan bertapa dengan cara berendam sepanjang malam di sungai. Perasaan takut dan was-was sudah kuhilangkan dari dalam benakku. Seandainya saat berendam nanti aku mati dipatuk ular sanca, aku sudah rela. “Daripada hidup dihina orang, lebih baik mati dipatuk ular!” Tekadku dalam hati.
Malam itu, mulailah aku melakukan ritual yang teramat musykil itu. Sebelum turun ke dalam sungai, aku melucuti semua pakaian yang melekat di badan. Pakaian itu kusangkutkan begitu saja pada sebatang ranting kayu di pinggir sungai. Sesaat aku sempat hampir membatalkan niat, ketika tubuhku mulai berendam. Nyaris aku tak tahan merasakan dinginnya air sungai itu di malam hari. Tubuhku menggigil kedinginan, dan gigiku gemeletuk. Namun, aku mencoba tetap bertahan sambil melantunkan zikir-zikir pemberian gaib.
Malam pertama tak terjadi apa-apa. Lalu malam kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya kulalui tanpa godaan yang cukup berarti. Paling-paling cuma melawan dinginnya air sungai.
Biasanya, aku turun ke sungai sekitar pukul 10.00 malam, manakala sudah tak ada seorang pun yang berkeliaran. Kalau kebetulan ada orang yang hendak mengambil air wudhu, aku segera menenggelamkan tubuhku ke dalam sungai. Aku baru naik ke atas sungai, setelah terdengar adzan Subuh di mushola terdekat.
Toh, akhirnya godaan yang kutakutkan datang juga. Ini terjadi pada malam kedua puluh delapan. Ketika sedang khusyuk berzikir, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin sekali. Ada sesuatu benda dingin yang merambat pelan dari bawah kakiku. Tubuhku kontan menggigil, menahan rasa geli dan takut. Aku sudah bisa menerka, benda apa yang sedang menjalari tubuhku itu. Ya, aku tengah dibelit seekor ular sanca yang amat besar. Tapi, dalam hati aku berusaha untuk meyakinkan diriku, bahwa yang kualami itu hanyalah godaan belaka. Kalau aku tetap bisa bertahan, berarti aku akan lulus dari ujian. Tapi kalau aku takut dan lari, aku akan gagal meraih cita-citaku untuk menjadi orang kaya raya.
Sungguh berat ujian yang harus kuhadapi saat itu. Dalam saat ketakutan seperti itu, aku semakin memperkeras suara zikirku. Herannya, benda panjang dan dingin itu bukan menghilang, malah makin bertambah banyak saja. Aku mencoba terus tetap bertahan, meskipun sekujur tubuhku dibelit beberapa ekor ular sanca. Aku menutup kedua mataku rapat-rapat, agar tak melihat pemandangan yang sangat menakutkan itu.
“Ya, Allah, kalau aku harus mati digigit ular-ular ini, aku rela ya Allah. Tapi kumohon, lindungilah aku dari kejahatan-kejahatan mereka!”
Doa itu kulantunkan dengan cukup keras, untuk menolak kehadiran ular-ular itu, sekaligus memberikan energi keberanian padaku.
Aneh sekali! Setelah berkali-kali doa yang sama kuucapkan, akhirnya binatang-binatang melata itu satu demi satu memang segera pergi, meninggalkan tubuhku.
Malam berikutnya, godaan binatang berupa ular itu datang lagi. Bahkan berpuluh-puluh ular langsung membelit tubuhku tanpa ampun. Walau begitu, tak seekor pun yang menggigitku. Makhluk-makhluk menggelikan sekaligus berbisa itu hanya melingkar, dan bergantian membelit tubuhku yang polos. Saat aku mencoba untuk membuka mataku, aku melihat seluruh permukaan air sungai telah dipenuhi oleh binatang menjijikan itu. Aku terus bertahan, sambil tetap terus melantunkan zikir pemberian gaib yang selama ini membisikiku. Namun, benteng pertahananku hampir bobol, saat leherku dibelit oleh seekor sanca berkepala dua. Lidah makhluk itu menjulur-julur, seolah-olah hendak mematuk kedua mataku. Sambil memejamkan mata kembali aku memohon perlindungan Tuhan. Akhirnya, ular-ular siluman itu pergi dengan sendirinya, seperti lenyap ditelan gemericik air sungai.
Tiga puluh sembilan malam telah kulalui dengan selamat. Aku berhasil mengalahkan godaan-godaan yang mengganggu semediku. Bukan ular-ular siluman saja yang menggodaku, bahkan pada malam ketiga puluh satu, aku merasa ditunggui oleh beberapa ekor harimau kumbang. Binatang itu duduk-duduk di pinggir sungai, seolah-olah sedang menanti dan siap memangsaku. Tetapi sekali ini pun aku berhasil melewatinya.
Yang kuherankan, kenapa semua godaan itu berupa binatang-binatang buas? Bukan hantu atau lelembut? Padahal, aku paling takut dengan godaan-godaan yang berupa binatang-binatang.
Yang sangat menyeramkan terjadi pada malam puncak, yaitu malam yang ke empat puluh. Waktu itu aku betul-betul mengalami godaan yang sangat berat. Godaan yang sangat mengerikan. Betapa tidak? Dua ekor naga sebesar batang pohon kelapa melingkari tubuhku. Mulut mereka menganga lebar seakan siap memangsaku, sedangkan ekornya menyibakkan air menimbulkan gelombang yang sangat besar.
Mulanya aku masih ingin bertahan, sambil membaca terus melantunkan zikir aneh pemberian gaib. Namun, melihat keganasan makhluk siluman itu pada akhirnya aku tak kuat lagi untuk bertahan. Aku lalu berteriak ketakutan, sambil naik ke atas sungai. Dengan keadaan tubuh telanjang bulat, aku berlari ke sana ke mari sambil menjerit-jerit meminta tolong di kegelapan malam buta itu.
Aku terus berlari sambil berteriak-teriak meminta tolong. Teriakanku yang cukup keras di tengah malam buta itu selanjutnya membangunkan orang-orang sekampung. Mereka berhamburan, keluar dari rumah masing-masing. Dan, begitu memergoki aku yang telanjang bulat sambil berteriak-teriak ketakutan, mereka bukannya menolongku, malah nampak marah dan beringas. Mereka pikir, aku telah mengganggu tidur mereka. Di sebuah bangunan rumah kosong, mereka berhasil menangkapku. Entah siapa yang memulai lebih dulu, tubuhku mereka hujani dengan pukulan-pukulan telak. Seandainya saat itu tak ada Haji Imron, ketua masjid di situ, mungkin aku sudah mati dihakimi massa.
Oleh Haji Imron aku lalu diberi pakaian, dan diajak ke pesantren kecilnya. Pesantren itu letaknya persis di belakang mesjid. Di situ, aku disuruh makan dan minum secukupnya. Lalu, Haji Imron menanyakan, kenapa aku bertingkah laku seperti itu?
Sebetulnya aku ingin menjawab pertanyaannya. Tapi entah kenapa mulutku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Berulangkali aku mencoba untuk berkata-kata, tapi terasa susah untuk menggerakkan lidahku.
“Sudahlah, aku tidak memaksamu untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Yang penting, mulai malam ini, tinggallah di sini, jangan kembali ke surau itu lagi. Santri-santri di sini akan menjaga dan merawatmu. Kamu mengerti dengan ucapanku ini, Thamrin?” tanya Haji Imron, yang terkenal arif dan bijaksana itu sambil menatap kedua bola mataku.
Aku hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti dengan ucapannya.
Sejak malam itu, aku tinggal di pesantren milik Haji Imron. Oleh santri-santri muda aku diberi tugas membersihkan halaman depan dan dalam pesantren, juga membersihkan kamar mandi mesjid. Untuk pekerjaan itu semua, aku mendapatkan jatah makanan dari mereka.
Yang membuatku heran, setelah beberapa hari tinggal di lingkungan pesantren, aku mulai sering melihat makhluk-makhluk berbentuk ganjil di sekitar pesantren itu. Menurut pandanganku, makhluk-makhluk berekor itu sebangsa monyet. Ulah mereka tak begitu jauh dari kebiasaan manusia. Kadang mereka bercanda, kadang berkelahi. Kalau mereka sedang bercanda, aku ikut tertawa melihat candaan mereka. Tapi kalau di antara mereka ada yang menangis, misalnya saja karena kalah berkelahi dengan temannya, maka aku pun ikut-ikutan menangis.
Ya, aku mengikuti gerak-gerik dan tingkah laku mereka. Dan hal ini terjadi tanpa aku sadari sama sekali. Celakanya, gara-gara tingkahku yang nyeleneh ini, para santri dan semua orang yang tinggal di lingkungan pesantren itu menganggapku gila. Hanya Haji Imron-lah yang masih menganggapku sebagai manusia normal.
“Kenapa kamu sering berulah aneh seperti itu, Thamrin?” Tanya Haji Imron suatu ketika.
Dengan jelas kuceritakan apa yang kualami kepada Haji Imron. Ya, bahwa aku selama ini selalu melihat sekawanan makhluk-makhluk mirip kera. Ulah makhluk-makhluk itulah yang sepertinya telah mempengaruhi emosiku.
“Sepertinya, jiwamu berada dalam pengaruh jin jahat, Thamrin. Karena itulah aku sarankan agar lebih kau tingkatkan lagi ibadah sholat lima waktumu. Insya Allah, Tuhan akan memberikan pertolongan kepada hambaNya yang tawakal,” nasehat Haji Imron.
Alhamdulillah! Setelah menuruti nasehat itu, kesehatan otakku semakin hari semakin membaik. Bahkan selama tinggal empat bulan di pesantren, ingatanku jadi jernih sama sekali. Memang, sesekali aku masih melihat penampakkan makhluk-makhluk mirip kera itu. Kadang kala, bisikan gaib itu juga kembali kudengar. Ya, suara lembut perempuan itu menyuruhkan untuk kembali melakukan ritual gila tempo hari.
Aku selalu mencoba bertahan untuk tidak terpengaruh oleh hal-hal gaib yang menggangguku. Sampai suatu hari, ada seorang santri yang menunjukkan majalah Misteri padaku. Setelah membacanya, aku sangat tertarik pada rubrik Catatan Hitam asuhan Bapak Saipudin. Dengan harapan bisa mendapatkan gambaran dan solusi dari persoalan yang aku hadapi, maka akhirnya kuputuskan untuk menulis kisah yang kualami ini.
Semoga kiranya Bapak Saipudin yang bijaksana dapat memberikan bantuan yang sangat berarti bagi saya. Dan akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf bila ada kata yang salah.
Source: Majalah Misteri