Pikiranku terasa kalut. Seolah tidak ada lagi pijakan dalam hidupku. Melihat ibuku mengemasi barang-barangnya dan pindah ke tempat nenekku, membuatku menangis. Kesedihan yang akhirnya membawaku ke danau Menjer, Kecamatan Garung, sekitar 10 kilometer arah Utara kota Wonosobo, Jawa Tengah.
Di tepi danau aku duduk merenung memikirkan kemelut keluargaku. Tidak terasa air mataku bercucuran. Aku menangis sekeras-kerasnya, menumpahkan rasa kecewa dan frustasiku. Ketika itu nyaris tidak ada seorangpun di dekat danau. Tidak ada nelayan yang biasa kulihat di antara perahu-perahu yang berjajar rapi. Aku seorang diiri di tepi danau, meski sebenarnya langit masih terang sekitar pukul 3.00 sore.
Dalam kegamangan itu, tanpa sadar aku melangkah ke arah tepi danau. Seolah ada satu kekuatan yang mendorongku untuk menenggelamkan diri ke danau. Namun tiba-tiba saja terdengar suara teguran dari arah belakangku.
“Sebaiknya kamu pulang saja, dik,” katanya. Aku menoleh, ternyata seorang lelaki tua berdiri di dekatku. Ia seperti nelayan, karena kulihat membawa jala.
Seperti tidak peduli dengan kata-katanya, aku tetap saja melangkah mendekati perahu. Tetapi rasa penasaran membuatku kembali menoleh. Aneh, nelayan tadi sudah tidak ada. Aku merasa heran, mengapa dalam sekejap ia menghilang? Kuperhatikan sekeliling, ternyata tidak ada siapapun. Ia benar-benar lenyap.
Aku kembali menuju danau. Kali ini tanganku sudah mencapai perahu dan air membasahi betisku. Seketika itu aku melihat sesuatu yang aneh. Seekor ikan berukuran besar dengan panjang sekitar 5 meter, muncul dari permukaan air. Ikan tersebut memiliki mata yang besar dan menatapku dengan tatapan tajam. Kemudian ikan itu mengibaskan ekornya hingga menimbulkan percikan air ke arah wajahku.
Melihat caranya ikan itu menatapku, seketika membuat dadaku berdegup kencang. Tiba-tiba saja aku merasa takut. Ketakutan yang tidak kurasakan sebelumnya. Semakin aku melangkah jauh, binatang itu kembali mengibaskan ekornya dengan keras. Cipratan airpun membasahi sekujur tubuhku. Sementara kedua mata ikan berukuran sebesar kepalan tangan itu terus saja menatapku. Sesaat kemudian kembali aku mendengar suara berbisik di telingaku.
“Sebaiknya kamu pulang saja dik..”
Kali ini bisikan itu lebih mirip suara wanita. Akupun memperhatikan sekeliling, tetapi tidak seorangpun yang kulihat. Seketika ketakutanku semakin menjadi. Keinginanku untuk bunuh diri pupus sudah. Seolah ada kesadaran yang muncul dibenakku. Kesadaran untuk tetap melanjutkan kehidupan, betapapun cobaan berat menderaku.
Saat itu juga aku memutuskan pulang. Tidak ada lagi niat untuk mengakhiri hidup. Semuanya harus kuhadapi. Tiba di rumah aku langsung mandi dan membersihkan badan. Setelah itu kuhempaskan tubuhku di kasur. Hari ini tubuhku terasa letih. Setelah hampir seharian menyendiri di danau Menjer.
Malam itu aku tertidur lelap dan mimpi berjumpa sesosok wanita berparas cantik berpakaian kebaya motif batik. Aku tidak mengenal wanita itu. Anehnya, wanita itu tersenyum memandangku tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa hari kemudian, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Sejujurnya, dilingkungan sekolah aku termasuk gadis cantik. Karena itulah, beberapa teman pria sering mengajakkku berkencan. Tetapi aku sendiri tergolong pemalu hingga tidak pernah berpikir untuk pacaran. Keinginanku hanya satu, yaitu belajar sebaik-baiknya agar berhasil lulus ujian.
Tetapi saat ini keinginanku untuk memiliki kekasih begitu menggebu. Seolah tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Tanpa kesulitan berarti, aku memilih seorang teman pria yang kuanggap paling tampan. Di usia yang ke 17 itulah aku mulai berpacaran. Anehnya, aku cepat merasa bosan. Seolah ada dorongan kuat untuk selalu berganti pacar dan mendapatkan kekasih baru. Karena itulah, hingga selesai sekolah tidak terhitung berapa banyak pria yang pernah kupacari. Beberapa diantaranya bahkan sempat patah hati dan frustasi berat, karena kuputusin benang asmaranya.
Kebiasaanku berganti pacar rupanya menimbulkan keprihatinan orangtuaku. Meski sudah berpisah, tetapi mereka tetap menaruh perhatian terhadap putrinya. Inilah yang membuat mereka menjodohkanku dengan pemuda sekampung.
Aku sendiri menerima dengan senang hati, ketika pemuda itu datang meminangku. Tidak ada alasan bagiku utnuk menolak pemuda berwajah tampan berambut panjang dengan senyum dan tutur kata yang menawan.
Pada tahun 1999, hanya selang 3 bulan usai tamat SMA, aku menikah dengan Doni yang berusia lima tahun di atasku. Meski pesta pernikahannya sederhana, aku sangat bahagia menyongsong hidup baru.
Sungguh suatu kenikmatan menjalani hidup berumah tangga. Hampir tiada hari tanpa seks. Semuanya kulakukan dengan sepenuh hati. Selain karena aku mencintainya, ia pun memiliki kemampuan dalam memuaskan libidoku. Meski seringkali suamiku kepayahan, tetapi aku berhasil membangkitkan hasratnya. Aku masih belum menyadari bahwa sebenarnya hasratku sudah tergolong hiperseks. Mungkin karena aku hanya melakukannnya dengan suamiku, jadi kuanggap wajar saja.
Kebahagiaan terus berlangsung hingga perkawinan berjalan 2 tahun dan memiliki seorang anak. Saat itu, seolah dunia ada dalam genggamanku. Memiliki suami yang berpenghasilan, seorang anak yang mungil dan selalu terpenuhinya hasrat seks. Tidak ada kebahagiaan yang lebih baik dari itu. Sungguh, aku hampir tidak pernah membayangkan kemungkinan karamnya bahtera rumah tanggaku.
Tetapi itulah yang terjadi. Tiba-tiba saja kejantanan suamiku melemah. Ia tidak mampu lagi memuaskan hasratku yang menggebu. Kucoba beragam cara untuk membangkitkan kejantanannya, tetapi tidak berhasil. Beberapa kali suamiku berobat ke dokter atau pengobatan alternatif, tetap tidak berhasil.
Puluhan jenis obat kuat, alat pompa penis dan lain sebagainya, tetap tidak bisa membuatnya ereksi. Enam bulan setelah kejantanan suamiku tidak menunjukan kemajuan, aku mulai uring-uringan. Kini tidak ada hari tanpa percekcokan. Apa saja menjadi bahan pertengkaran. Orang tua dan mertuaku tidak berhasil mendamaikannya, hingga akhirnya kami sepakat berpisah.
Perceraian terjadi pada tahun 2001. Aku dan Mas Doni sepakat berpisah dengan cara baik-baik. Harus kuakui, perceraian ini terasa berat. Apalagi aku pernah merasakan bagaimana sedihnya saat kedua orang tuaku bercerai. Anakku yang masih kecil tentu merasakan penderitaan yang sama sepertiku dulu. Tetapi hasratku yang menggebu dan ingin selalu terpuaskan seolah tidak bisa di tawar lagi. Doni menyadari hal ini, hingga ia tidak ingin membuatku terlalu lama menderita.
Bersama anakku, aku menetap di rumah nenekku. Mulailah aku menjalani kehidupan yang baru sebagai wanita berstatus janda muda. Tetapi bukan status itu yang membuatku risau. Kenyataan bahwa aku seorang janda tidak membuatku menarik diri dari pergaulan. Aku tetap membaur dengan masyarakat sekitar. Namun, permasalahannya terletak pada hasratku yang tinggi dan harus secepatnya mendapat penyaluran.
Malam demi malam kulalui dengan perasaan hampa. Bayanganku tentang seks begitu kuat menggelayuti pikiranku. Sementara belum ada seorangpun pria yang dekat denganku. Kegelisahanku akhirnya memuncak saat aku bertemu dengan salah seorang mantan pacarku. Sebut saja namanya Jeri. Kebetulan dia belum menikah hingga aku leluasa bergaul dengannya. Tetapi anehnya, tidak ada keinginanku untuk membina hubungan yang lebih serius. Tidak ada pembicaraan ke arah perkawinan. Semuanya hanya pembicaraan biasa.
Merasa tidak mungkin menjadi suamiku, sementara hasrat seksku begitu menggebu, maka aku mulai memasang jerat untuk menggiringnya ketempat tidur. Upaya ini tidak sesulit yang kuduga. Mungkin karena aku masih cantik dan memiliki tubuh padat berisi. Bisa juga karena ia memang masih menyukaiku, setelah sempat kuputuskan cintanya beberapa tahun lalu. Hanya selang beberapa minggu, pria itu berhasil kutaklukkan.
Tetapi Jeri tidak seperti mantan suamiku. Kemampuannya di ranjang payah. Meskipun sudah berjalan dua bulan, dia tetap tidak pandai memuaskanku. Semula aku menduga, ia dibayangi perasaan berdosa. Atau barangkali takut kalau aku hamil. Kenyataannya tidak demikian. Dia mengaku kewalahan melayaniku dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Tentu saja aku berupaya mempertahankannya. Namun gagal, dia memilih merantau ke kota lain.
Seringnya aku berpindah hotel setiap kali berkencan membuatku tidak terlalu asing bepergian keluar kota. Itulah sebabnya, aku memiliki banyak teman di beberapa hotel, terutama resepsionis dan bell boy. Mereka tentunya punya relasi luas yang bisa menghubungkanku dengan setiap tamu yang membutuhkan kehangatan wanita. Lalu kuberikan nomor ponselku. Dugaanku tidak meleset, ponselku berulang kali berdering, memintaku memuaskan hasrat pria hidung belang.
Inilah awalku menjalani profesi di dunia hitam. Tetapi aku tidak melakukannya untuk uang, meski aku mendapatkannya. Aku menikmatinya karena hasratku selalu terpenuhi. Di dunia yang baru ini aku mulai mengenal minuman keras. Setelah sebelumnya tidak seteguk cairan alkohol masuk tenggorokanku. Minuman keras, terutama mansion house, menghanyutkanku dalam gejolak birahi yang tidak terpuaskan. Dan dari penuturan mereka pula kuketahui diriku hiperseks.
Minuman keras itu pula yang membuatku mengetahui kalau dalam diriku ini ada titisan Dewi Lanjar. Menurut mereka, aku sering mengeluarkan perkataan aneh di saat mabuk, yaitu mengaku sebagai Dewi Lanjar. Aku sering mengidentikkan diriku dengan penguasa Pantai Utara Jawa itu. Tentu saja aku tertawa setiap kali mendengar ocehan itu. Bagiku, itu hanya pengaruh alkohol yang memenuhi otakku hingga membuat bicaraku meracau.
Tetapi begitu seringnya mereka bertutur cerita sama membuatku penasaran, apakah memang dalam diriku ada titisan Dewi Lanjar? Atau hanya sekedar halusinasi yang biasa terjadi pada orang mabuk? Lantas, adakah kaitannya dengan gelora birahiku yang seolah tidak pernah padam? Sungguh suatu misteri bagiku.
Suatu hari, seorang teman membawaku ke kyai di sebuah pesantren. Ia berinisiatif membuatku memecahkan misteri yang kuhadapi.
‘’Kamu memang titisan Dewi Lanjar,’’ kata Sang kyai. ‘’Saat kamu berada di danau Menjer beberapa tahun lalu, Dewi Lanjar datang. Sejak itu, ia selalu mengikutimu.’’
Ia menuturkan, memang ada aliran sungai dari danau Menjer yang bermuara ke pantai Slamaran, Pekalongan, Jawa Tengah, kota asal Dewi Lanjar. Menurutnya kata lanjar mengandung makna wanita yang masih suci (perawan). Lanjar juga bermakna janda tetapi tanpa anak.
‘’Tetapi saya sudah punya anak,’’ kataku membantah. ‘’lagi pula saya tidak merasakan sesuatu yang aneh dalam diri saya.’’
“Kamu memang tidak berubah kecuali nafsu seksmu.’’
‘’Maksud kyai, apakah nafsu seks saya tidak wajar?’’tanyaku.
‘’Ya. Keinginanmu untuk selalu berhubungan seks dan tidak pernah terpuaskan, lantaran ada sosok gaib tersebut.”
Menurutnya, gairah seksku sebenarnya tergolong wajar. Tetapi ada sosok gaib yang masuk kedalam ragaku setiap kali berhubungan intim. Itulah yang membuat diriku tidak pernah terpuaskan.
Kyai itu tanpa ragu mengatakan bahwa sosok gaib itu kini bercokol di kemaluanku dan sulit untuk dilepas.
‘’Adakah jalan keluarnya, kyai?’’ tanyaku berharap.
‘’Sebaiknya kamu segera menikah, agar tidak terlalu panjang daftar dosamu,’’
Aku tertegun mendengarnya.
‘’ Bagaimana kalau suamiku yang baru nanti tidak bisa memuaskan. Nanti malah bercerai lagi,’’ kataku.
Tetapi kyai itu tetap menyarankanku untuk menikah. Menurutnya, upaya untuk mengeluarkan sosok gaib dikemaluanku hanya bisa dilakukan apabila aku tidak lagi berhubungan seks di luar nikah.
Lebih jauh ia mengatakan, terjerumusnya wanita kedalam dunia hitam, karena kuatnya pengaruh sosok gaib jahat yang bercokol di alat vital. Jadi bukan sekadar masalah ekonomi.
Apa yang dikemukakan kyai itu sangat masuk akal. Aku pun menerima sarannya. Namun aku menyadari, mendapatkan jodoh bukanlah perkara mudah. Hingga kini, aku masih sendiri dan belum mendapatkan pendamping hidup. Meski aku berharap mendapatkanya suatu hari nanti.
Namun anehnya, gelora birahiku yang selalu bergejolak kini sudah redam. Seolah ada kekuatan lain yang mampu mengendalikan hasratku. Atau barangkali, makhluk gaib jahat yang menetap di alat vitalku sudah hilang?
Sebagaimana dituturkan Meli (nama samaran) kepada penulis.