KONSULTASI HUB.mbahkahono@gmail.com

Suamiku Ber Isteri Jin

Kalau saja kenyataan ini tidak terjadi di hadapanku dan menimpa suamiku sendiri, niscaya aku takkan pernah bisa mempercayainya. Ya, bagaimana aku bisa percaya karena semua ini sungguh terjadi di luar batas logika. Karena keanehan ini pula aku bagaikan terasing dari suami yang dulu sangat mencintaiku.
“Maafkan Abang, Yati! Abang belum mendapatkan izin untuk menyentuh tubuhmu,” begitulah yang dikatakan oleh Bang Marsan, suamiku, setiap kali aku merengek meminta kemanjaan darinya.
Malangnya aku ini. Kalau tak salah hitung dan salah ingat, rasanya sudah hampir setahun kenyataan pahit dan menyesakkan ini terjadi. Bang Marsan yang dulu selalu bergairah mendadak seperti kehilangan gairahnya terhadap diriku. Dia tak mau lagi menyentuh tubuhku. Jangankan untuk mencumbuku, bahkan setiap malam aku dibiarkan kedinginan sendirian. Bang Marsan terus sibuk dengan ritualnya yang aneh itu. Belakangan, kepribadian Bang Marsan yang malah total berubah penuh keanehan. Aku sampai-sampai seperti tak mengenal lagi siapa dirinya. Jangankan untuk meminta kemanjaan darinya, bahkan untuk mendekatinya saja aku sudah tak sudi lagi.

Dari dalam kamar khusus yang dipersiapkannya itu, beberapa kali kudengar suara Bang Marsan yang terengah-engah seperti seorang (maaf) yang sedang memacu birahi. Pada awalnya, kenyataan ini sudah barang tentu membuatku cemburu. Akupun bertanya dalam batinku sendiri, “Apakah karena ini Bang Marsan enggan untuk bercumbu denganku?”
Sebagai perempuan normal yang tidak menginginkan suaminya jatuh ke dalam pelukan wanita lain, sudah barang tentu karena suara-suara birahi itu maka aku membayangkan hal-hal menjijikan sekaligus menyakitkan. Betapa dalam benakku tergambar bagaimana gairah Bang Marsan mencumbu perempuan yang wajah serta bentuk tubuhnya hanya ada dalam bayanganku itu. Aku selalu berusaha keras membunuh kecurigaanku. Kuyakinkan diriku bahwa Bang Marsan tak pernah melacurkan dirinya kepada perempuan manapun. Kuyakinkan pula bahwa suara terengah-engah yang kerap kudengar dari kamar ritualnya itu hanyalah halusinasiku belaka. Kadangkala, aku sendiri berusaha membantah suara yang kudengar itu sebagai ekspresi dari suatu kenikmatan birahi seorang lelaki yang tengah berpacu ke puncak syahwatnya.

“Mungkin saja suara itu memang suatu keharusan yang harus dilakukan Bang Marsan dalam ritualnya,” batinku. Dan sekian waktu lamanya aku memendam kecurigaanku ini. Sampai pada akhirnya aku harus menangis saat mendengar penjelasan Pak Haji Dasuki, sebutlah begitu, seorang yang dikenal memiliki ilmu-ilmu gaib yang tinggal sekampung denganku.
“Sepertinya Marsan, suamimu itu punya isteri gaib, Yati!” Kata Haji Dasuki yang sekaligus menyentakkan batinku.
“Isteri gaib bagaimana maksud Pak Haji?” Tanyaku sambil berusaha menekan perasaan.
Pak Haji Dasuki yang sering mengobati orang kesurupan atau kerasukan setan itu terlihat menegang wajahnya. Dengan agak bimbang dia kemudian menjawab pertanyaanku, “Ini baru dugaanku saja. Aku kan belum tahu persis bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Oya, apakah setiap malam suamimu itu melakukan ritual, Yati?”
“Tidak setiap malam sih, Pak Haji! Paling sering malam Jum’at dan malam Selasa,” jawabku.
“Terus di luar malam Jum’at dan malam Selasa, apa yang dilakukan oleh suamimu?” Pak Haji Dasuki kembali bertanya.
“Saya tidak tahu, Pak Haji! Yang pasti, Bang Marsan selalu pergi keluar rumah, dan dia baru pulang menjelang subuh.”
“Aneh, kemana perginya dia?”
“Itulah yang membuat saya bingung, Pak Haji!”
Pak Haji Dasuki mengusap-usap janggutnya yang telah memutih. Tak ada lagi pertanyaan atau nasehat yang disampaikannya kepadaku. Hari itu, dia hanya memberikan segelas air putih yang di dalamnya terdapat selembar sirih bertemu ruas. Air ini kemudian dipindahkan wadahnya ke dalam sehelai kantung plastik.
“Ingat, air ini harus kau berikan pada suamimu. Biarkan dia meminumnya!” Pesannya saat memberikan kantung plastik berisi air putih yang telah diberi doa-doa itu. Sambil memberikan uang ala kadarnya untuk penebus obat, akupun segera berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah, tentu saja aku bermaksud melaksanakan pesan yang diperintahkan Haji Dasuki tersebut. Tetapi anehnya, bungkusan air itu hilang dengan sendirinya. Padahal, aku baru saja meletakkannya di atas meja makan dekat wadah penghangat nasi. Tentu saja aku tak mungkin lupa, sebab ini baru berlalu kurang dari dua menit. Aku meninggalkannya hanya untuk mengambil gelas besar yang biasa kujadikan tempat air minum suamiku.
“Aneh, kok air itu bisa hilang ya?” Batinku sambil menimang-nimang gelas kosong. Kepalaku nyaris pecah memikirkannya. Kucari kemana-mana, tapi tetap saja tidak kutemukan kantung plastik berisi air putih dengan sehelai daun sirih bertemu ruas itu.
Aku juga menanyakannya kepada Alin, anak sulungku yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Tapi, Alin menjawab tak pernah melihat kantung plastik berisi air itu. Begitu pun dengan Fathan, anak bungsuku yang sudah duduk di kelas 6 SD juga menjawab tak tahu.
Perlu kujelaskan, dari pernikahanku dengan Bang Marsan, kami dikaruniai dua orang anak, putra dan putri, yang masing-masing sudah tumbuh besar dan sehat.
“Memangnya itu air apa sih, kok Mama sampai bingung begini?” Tanya Alin, ingin tahu.
“Air obat untuk ayah kalian!” Jawabku.
“Memangnya Ayah kenapa sih, Ma?” Kali ini yang bertanya adiknya, Fathan.
Sambil menyembunyikan keresahan, dengan sabar kujelaskan kepada kedua anakku bahwa Ayah mereka harus segera disadarkan dari keputusasaannya, sehingga kembali menemukan gairah hidupnya. “Air itu dari Pak Haji Dasuki. Beliau kan orang pintar di desa kita ini. Jadi, dengan minta doa dari Pak Haji Dasuki, mudah-mudahan Ayah kalian segera sadar dan menemukan semangat hidupnya lagi.”
Alin dan Fathan manggut-manggut tanda mengerti. Memang, di mata mereka, Ayahnya yang dulu selalu rajin dan penuh semangat itu telah berubah menjadi seorang yang pemalas dan seperti kehilangan semangat hidup. Tak hanya itu, di mata kedua anaknya Bang Marsan juga telah berubah menjadi sosok yang aneh sekaligus menyeramkan.
Semua ini persisnya terjadi sejak Bang Marsan harus di-PHK dari perusahaan yang selama hampir 15 tahun dia bekerja di dalamnya. Malangnya lagi, uang pesangon yang nilainya cukup lumayan itu harus lenyap entah kemana. Uang itu dirampok orang bersama mobil Suzuki Katana kesayangan Bang Marsan. Peristiwanya terjadi ketika Bang Marsan, yang hari itu aku temani, memarkir mobilnya di pasar Inpres dekat rumah kami, sepulang dari mencairkan cek uang pesangonnya di Bank, dan kami bermaksud membeli beberapa jenis bahan makanan untuk sekedar mengadakan kenduri atau selamatan kecil atas cairnya uang pesangon yang sangat kami nanti-nantikan itu.
Tetapi, kenyataan rupanya berbicara lain. Bukan hanya uang bernilai puluhan juta itu yang harus raib, tetapi juga satu-satunya kendaraan milik kami, sebab uang itu memang ditaruh Bang Marsan di dalam laci dashbord Suzuki Katana yang dibelinya dengan cucuran keringat.
Sejak peristiwa itu Bang Marsan memang berubah jadi pemurung. Dia pasti sangat kecewa. Sampai sekitar 2 bulan sejak peristiwa di hari naas itu terjadi, Bang Marsan berpamitan pergi kepadaku. Katanya, dia ingin ziarah ke makam leluhurnya yang ada di Pandeglang, Banten. Tanpa rasa curiga, tentu saja aku mengizinkannya.
Lima hari kemudian Bang Marsan pulang dengan wajah murungnya yang telah berubah ceria. Sepertinya, dia telah mendapatkan semangat baru. Benar begitu? Entahlah! Aku tak pernah tahu pasti. Hanya saja ketika kutanya, Bang Marsan menjawab begini, “Aku sudah menemukan jalan untuk mengembalikan uang dan mobilku yang hilang itu. Sebentar lagi aku akan jadi kaya.”
Bang Marsan seperti baru bangun dari mimpi indah. Ketika kutanyakan, dari mana dia bisa mendapatkan kekayaan itu, dengan agak bingung dia malah menjawab begini, “Pokoknya, kamu harus sabar, Ma! Sejak hari ini, kau tak boleh banyak bertanya tentang apa saja yang aku lakukan. Pokoknya, kamu jadi penonton saja. Ingat, semua ini demi kebaikan kita. Ya, demi masa depan kita, juga Alin dan Fathan. Kamu mengerti kan?”
“Iya, aku juga setuju dengan cita-citamu itu. Tapi bagaimana caranya?” Aku balik bertanya.
Bang Marsan lalu mengeluarkan kantung kain hitam yang sudah kusam dan lusuh dari dalam tasnya. “Dengan batu ajaib ini, Ma!” Katanya sambil menunjukkan batu sekepalan tangan orang dewasa. Batu itu berwarna hitam pekat, namun sepertinya menunjukkan rona kebiru-biruan yang sangat terang berkilat.
Walau bingung, aku cuma bisa mengangguk, sebab aku memang sudah tidak diberinya lagi kesempatan untuk bertanya. Ini memang aneh, sebab biasanya Bang Marsan selalu mendiskusikan segala sesuatu denganku hingga tuntas. Tetapi sekali ini dia sepertinya menyimpan sebuah misteri. Entah apa? Yang jelas, sehari setelah kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu, dia memang mulai menunjukkan keanehannya. Seperti yang hari itu dilakukannya. Tanpa bicara apa-apa, Bang Marsan menutup ventilasi atau lobang angin pintu dan jendela kamar tengah, bahkan meminta agar kamar itu dikosongkan.
“Memangnya mau kau apakan kamar itu, Mas?” Tanyaku dengan terheran-heran.
Bukannya menjawab, Bang Marsan malah memelototiku. Lalu, dengan nada dingin dia berkata begini, “Baru saja kemarin aku bilang agar kau jangan sekali-kali bertanya tentang apa yang kulakukan. Kamu jadi penonton saja. Yang penting bagaimana hasilnya nanti.”
Ah, bulu kudukku merinding mendengar jawaban itu. Jelas sekali Bang Marsan menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa, aku sendiri tak pernah tahu secara pasti.
Sikap Bang Marsan memang aneh dan penuh Misteri sejak kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu. Dia pendiam dan berubah sangat pemalas. Setiap hari yang dikerjakannya hanya tidur atau menyendiri di dalam kamar khusus itu, dan dia juga mulai jarang mandi. Karuan saja anak-anak pun semakin jauh darinya….
***
Misteri hilangnya kantung plastik berisi air putih dan selembar daun sirih bertemu ruas itu akhirnya terjawab dua hari kemudian.
Ceritanya, setelah kehilangan air obat untuk Bang Marsan, walau dengan rasa sungkan dan malu aku kembali bertamu ke rumah Pak Haji Dasuki. Dengan berat hati kuceritakan bahwa air itu belum sempat kuberikan kepada Bang Marsan, sebab tumpah saat kantung plastik wadahnya kutaruh di atas meja.
Mendengar cerita yang kukarang itu, Pak Haji Dasuki sepertinya percaya. Buktinya, tanpa banyak pertanyaan dia kembali memberikan air yang sama padaku.
“Jangan sampai kau tumpahkan lagi. Ingat itu, Yati!” Katanya saat memberikan kantung plastik berisi air dan daun sirih bertemu ruas kepadaku.
Batinku berdesir hebat, sebab dari sorot matanya sepertinya Pak Haji Dasuki tahu kalau aku telah membohonginya. Kecurigaan ini semakin terasa menguat ketika beliau menolak uang pemberianku.
“Kau berikan saja kepada anak-anakmu. Untuk jajan mereka!” Katanya dengan nada kurang senang. Keramahannya sepertinya telah hilang.
“Baiklah, terima kasih, Pak Haji!” Jawabku dengan wajah tertunduk.
Sambil berusaha memupus ingatanku terhadap sikap Haji Dasuki, aku pun bergegas pulang. Anehnya, sesampainya di rumah, Bang Marsan sudah menungguku di depan pintu.
“Berikan air bikinan si Dasuki itu padaku, Yati!” Pintanya, membuatku tersentak. Aneh, bagaimana dia bisa tahu kalau aku baru pulang dari rumah Pak Haji Dasuki untuk meminta air?
“Apaan sih Abang ini. Aku barusan dari rumah Ibu,” jawabku sambil coba mengendalikan perasaan.
“Jangan bohong padaku, Yati. Ayo, berikan tasmu itu padaku!”
Kuberanikan diri melihat wajah Bang Marsan yang sudah berubah tirus itu karena dia memang jarang sekali makan nasi. Kulihat ekspresinya sangat datar. Aku sepertinya bukan sedang berhadapan dengan sosok lelaki yang sudah begitu akrab dan dekat denganku. Dan yang paling aneh, barusan tadi Bang Marsan menyebut Pak Haji Dasuki dengan tanpa embel-embel apa pun. Padahal setahuku dia sangat menghormati orang pandai dan berilmu itu. Bahkan, bila bertemu dengan Pak Haji Dasuki, Bang Marsan selalu menyapanya dengan takzim sambil tak lupa mencium telapak tangannya.
Lantas, mengapa tadi Bang Marsan menyebutnya hanya dengan “Si Dasuki”? Dan, apakah bukan suatu keanehan kalau tiba-tiba saja Bang Marsan tahu bahwa aku baru saja pergi ke rumah Pak Haji Dasuki? Apakah dia mengikutiku? Tidak mungkin, sebab saat pergi tadi dia masih mengunci diri di dalam kamar khususnya. Andai pun dia mengikutiku, bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau aku membawa air dari Pak Haji Dasuki, padahal aku sudah memasukkan air itu ke dalam tas kulitku sebelum keluar dari bilik tamu Pak Haji?
Sebelum Bang Marsan yang nampak aneh itu meminta untuk kedua kalinya, dengan tangan gemetar kusodorkan kantung plastik berisi air dan selembar daun sirih bertemu ruas itu kepadanya. Secepat kilat Bang Marsan menyambarnya, dan dengan secepat kilat pula dia membuangnya lewat daun jendela yang terbuka.
“Ingat, jangan coba-coba minta air kepada Si Dasuki atau siapapun orangnya, sebab aku akan mengetahuinya!” Katanya seperti setengah mengancam. Dari sini aku gampang menduga bahwa yang mencuri air pemberian Pak Haji Dasuki dua hari lalu pasti adalah Bang Marsan sendiri. Entah dengan cara apa dia mencurinya. Aku memang tak bisa memikirkannya lagi. Hanya, dari peristiwa ini aku mulai yakin kalau Bang Marsan sepertinya sudah mempunyai sisi lain dalam hidupnya. Ya, mungkin sisi yang berhubungan erat dengan dunia gaib.
Dan, kegaiban itu semakin terasa di hari-hari selanjutnya. Bang Marsan sepertinya semakin asing bagiku, juga bagi kedua anaknya. Hampir-hampir tak ada komunikasi di antara kami, walau kami tetap tinggal satu rumah. Anak-anak bahkan sudah mulai membenci Ayahnya, sebab baik Alin maupun Fathan sering kali mendapat bentakkan bila menanyakan sesuatu kepada Bang Marsan. Lambat laun, mereka pun semakin jauh dengan Ayahnya.
Yang sangat mengiris perasaanku, Fathan yang masih lugu itu pernah bilang bahwa dia lebih baik tidak mempunyai Ayah, daripada punya Ayah tapi kerjanya hanya diam, dan sekali ditanya langsung membentak.
“Kenapa Mama tidak suruh saja Ayah pergi. Fathan takut sama Ayah, Ma!” Isak tangis Fathan ketika suatu hari mendapat bentakkan dari Ayahnya.
“Sabar ya, Nak! Mungkin Ayah masih stress memikirkan mobil dan uangnya yang banyak itu hilang. Kita harus doakan agar Ayah lekas sadar dan mengikhlaskan semua itu,” bujukku sambil coba menahan linangan air mata.
Karena tak tahan melihat perlakuan Bang Marsan terhadap anak-anak, suatu hari aku memberanikan diri untuk menegurnya, “Apa sih salah anak-anak sampai kamu harus berlaku kasar sama mereka? Fathan dan Alin itu kan nggak ngerti apa-apa, Bang! Jadi tolong, berlaku sedikit lembutlah pada mereka.”
Bukannya menjawab atau memberi respon, Bang Marsan malah langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali membenamkan dirinya ke dalam kamar khusus yang seluruh ventilasinya sudah ditutup dengan triplek itu, sehingga tak seorang pun bisa melihat ada apa di dalamnya. Aku sendiri sangat penasaran dengan isi kamar tersebut, tapi entah dengan cara apa aku bisa melihatnya. Bahkan, kunci kamar itu disembunyikan oleh Bang Marsan.
Ayah dan Ibuku, adik serta kakakku, bahkan seluruh keluarga baik dari pihakku maupun dari pihak Bang Marsan, memang telah menganggap suamiku ini sudah gila. Sejak larut dalam ritual misterius yang dilakukannya, tak pernah sekali pun Bang Marsan mau menemui keluarga dan sanak saudara. Bahkan ketika Ibunya yang sudah tua itu datang untuk menjenguknya, Bang Marsan sama sekali tidak mau menemuinya. Padahal, satu-satunya orang tua yang masih dia miliki ini sudah rela menunggunya dengan menginap di rumah kami selama dua malam berturut-turut. Sungguh keterlaluan Bang Marsan! Lebih keterlaluan lagi, dia tak memberikan alasan apa pun sekaitan dengan sikapnya ini.
Mungkin benar Bang Marsan sudah senewen atau bahkan gila sekalian. Aku sudah kehabisan akal memikirkannya. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya bisa mendapat uang agar kedua anakku bisa makan dan tetap sekolah dengan baik. Hampir semua barang-barang berharga yang ada di rumah sudah kujual habis, bahkan seluruh perhiasanku sudah ludes, termasuk kalung 20 gram yang merupakan mas kawin pemberian Bang Marsan saat kami menikah 15 tahun silam. Masih untung ada beberapa keluarga yang peduli pada keadaan yang kuhadapi. Dari kepedulian mereka inilah aku masih bisa membeli beberapa liter beras dan lauk makan, juga biaya sekolah dan uang jajan anak-anakku. Kalau tidak, entah apa jadinya kami semua.
Sementara itu, Bang Marsan sudah tak peduli lagi dengan keadaan isteri dan kedua anaknya. Bahkan, dia pun sepertinya sudah tak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Bayangkan saja, tubuhnya yang dulu gemuk dan kekar itu kini telah berubah seperti halnya tulang berbungkus kulit. Kurus kering! Maklum saja, setiap hari yang dimakannya hanya beberapa potong singkong atau ubi jalar dengan segelas air putih atau kopi. Entah dengan alasan apa, Bang Marsan berpantang memakan nasi dan semua makanan yang berasal dari barang bernyawa.
Jika diibaratkan, hidup Bang Marsan kini sudah tak ubahnya seperti “orang-orangan.” Dia sama sekali telah kehilangan jatidirinya. Hanya yang sering kali membuatku heran, hampir pada setiap malam Jum’at dan malam Selasa, dari dalam kamar khususnya selalu saja terdengar suara Bang Marsan yang merintih atau mendesah-desah seperti seorang yang tengah berpacu dengan birahi. Entah apa yang terjadi? Hanya yang jelas, aku sudah mempersetankan hal itu. Kalau dulu aku sempat merasakan cemburu, ini semata mungkin karena aku masih mengharapkan Bang Marsan bisa kembali menjalani kehidupan normal denganku. Tetapi harapan itu lambat laun musnah, terkubur jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.
Orang bijak mengatakan, “Selalu ada setitik cahaya di tengah kegelapan selagi engkau masih mengharapkan cahaya itu.” Setidaknya, inilah yang kemudian kualami. Misteri yang menyelimuti kehidupan suamiku selama hampir setahun ini akhirnya terkuak dengan sendirinya, walau aku tetap saja berada dalam penjara kebingungan.
Dua bulan lalu sebelum kuputuskan untuk menuliskan catatan hitam hidupku ini buat Misteri, suatu siang aku kedatangan seorang tamu. Si tamu tak lain dan tak bukan adalah Ahmad Yusuf, teman senasib dan sepenanggungan suamiku. Kusebut begitu karena memang Ahmad Yusuf dulu adalah teman sekantor suamiku yang sama-sama harus rela di-PHK karena perusahaan tempat mereka bekerja kolap terbadai krisis ekonomi. Kedatangan Ahmad Yusuf inilah yang setidaknya telah menguak misteri itu.
“Maafkan saya yang telah membiarkan Mas Marsan sampai seperti ini, Mbak!” Cetusnya setelah mendengar semua ceritaku tentang keadaan Bang Marsan. Kulihat dia begitu sentimental, sampai-sampai harus menitikkan air matanya.
Sebelum aku sempat bertanya sesuatu padanya, sambil berusaha mengendalikan diri, Ahmad Yusuf lalu bercerita panjang lebar:
“Saya juga turut andil terhadap semua keadaan ini, Mbak! Dulu, saya yang mengajak Mas Marsan mengunjungi makam keramat Dewi Surthikanti di lereng Bukit Argosonya. Kami sama-sama melakukan tirakat di sana. Setelah semalaman kami bersemedi di makam tersebut, Mas Marsan-lah yang mendapatkan batu ajaib itu. Kata juru kunci makam keramat Dewi Surthikanti, batu itu dapat membuat siapa saja menjadi kaya raya, sebab dia akan menjadi suami gaibnya Dewi Surthikanti.
Selama ini, saya hanya menganggap hal itu sebagai omong kosong belaka. Saya sungguh tak menyangka kalau ternyata semuanya akan terwujud dalam kenyataan yang sesungguhnya.”
Batinku begitu tertekan dengan cerita tersebut. “Kenapa selama ini Mas Yusuf tidak pernah menengok suami saya?” Tanyaku dengan penuh sesal.
“Sejak kami sama-sama pergi ke Bukit Argosonya, saya hanya sempat menetap di Bekasi selama beberapa minggu. Karena bingung mencari pekerjaan, saya dan keluarga akhirnya memilih boyongan pulang kampung, Mbak. Dengan alasan itu saya tidak pernah melihat keluarga Mbak, khususnya berkaitan dengan Mas Marsan!” Jawab Ahmad Yusuf sambil terus berusaha menyembunyikan penyesalan.
Keterangan Ahmad Yusuf telah menguak misteri kehidupan Bang Marsan selama hampir setahun ini. Rupanya dugaan Pak Haji Dasuki memang benar bahwa suamiku ternyata memiliki isteri gaib, dan isteri gaibnya itu adalah apa yang disebut Ahmad Yusuf sebagai Dewi Surthikanti.
Tentang batu ajaib yang disebutkan oleh Ahmad Yusuf itu juga pernah diperlihatkan oleh Bang Marsan saat kepulangannya setelah dia pergi selama 5 hari. Jelas sekali Bang Marsan berbohong sekaitan dengan kepergiannya itu. Dia bukannya berziarah ke makam leluhurnya yang katanya ada di Pandeglang sana, akan tetapi dia pergi bersama Ahmad Yusuf ke makam keramat Dewi Surthikanti yang disebutkan berada di Bukit Argosonya itu. Kata Ahmad Yusuf, bukit keramat ini sesungguhnya masih termasuk wilayah Gunung Arjuna. Hanya saja, amat jarang diketahui letak persisnya, kecuali oleh orang-orang tertentu.
“Sekarang aku sudah kehabisan akal bagaimana cara menyadarkan Bang Marsan. Kau lihat sendiri bagaimana kehidupan kami, bukan? Semua barang-barang di rumah ini sudah habis Mbak jual untuk biaya hidup kami sehari-hari,” paparku dengan air mata berlinang.
Ahmad Yusuf sendiri kelihatan bingung dan tertekan setelah mengetahui bagaimana keadaan Bang Marsan lewat ceritaku. Di tengah kebingungan itulah akhirnya dia mengusulkan agar aku coba menuliskan kisah pahitku ini untuk Rubrik Catatan Hitam di majalah kesayangan ini. Apalagi, Ahmad Yusuf mengatakan ada salah seorang rekannya yang berhasil keluar dari problem bernuansa gaib setelah menuliskan kisahnya dan mendapatkan solusi dari pengasuh rubrik ini.
Mendengar kesaksian Ahmad Yusuf, akhirnya kucoba menuliskan kisahku ini walau dengan bahasa dan kata-kata yang mungkin tidak sempurna, sebab aku memanglah bukan seorang penulis profesional. Namun yang pasti, lewat penuturanku ini, aku sangat berharap agar kiranya pengasuh dapat memberikan solusi dan pertimbangannya. Ya, semoga kiranya Allah SWT meridhoi harapanku ini!
Istiyati – Purwakarta, Jawa Barat.

KESAKSIAN
Di tengah situasi tekanan ekonomi seperti sekarang ini, memang banyak orang yang terjerumus ke dalam lembah kedurhakaan. Demi kekayaan dan kemudahan hidup di dunia, orang-orang itu bahkan sampai rela menggadaikan akidah dan keimanannya. Nauzubillahi min dzalik! Tentu saja kita berharap agar kemurtadan semacam ini tidak menimpa diri, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Membaca testimoni yang anda goreskan, saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan apakah suami anda dapat dimasukkan ke dalam golongan orang-orang seperti yang saya sebutkan di muka. Mudah-mudahan saja tidak demikian. Kalau pun benar, kita sama-sama berharap agar sedapat mungkin bisa menyadarkannya kembali, sehingga suami anda dapat kembali menjalani kehidupan yang benar menurut tuntunan agama.
Dari situasi dan kondisi yang anda gambarkan, memang sangat mungkin suami berada dalam pengaruh atau kontrol sebentuk kekuatan gaib yang bersifat menjerumuskan, yang jelas sekali berasal dari setan atau jin kafir. Karena itu, sebagai solusi untuk menetralisir kekuatan tersebut dari diri suami anda, maka kiranya bisa dilakukan dengan amalan berikut ini:
Bacalah surat Al Fatihah sebanyak 41 kali setiap ba’da sholat Magrib selama 7 hari berturut-turut tanpa henti/terputus. Setelah memasuki hari yang ke 7, sesudah membaca 41 kali Al Fatihah, maka tiupkanlah ke semangkuk garam dapur yang sudah anda persiapkan sebelumnya. Taburkanlah garam ini di sudut-sudut ruangan rumah anda, wabil khusus pada sudut-sudut dekat dengan apa yang anda sebutkan sebagai “kamar khusus” itu.
Dengan cara tersebut, Insya Allah jin yang mempengaruhi suami Anda akan merasakan suatu keadaan yang tidak nyaman, bahkan menyiksa buat dirinya, sehingga pada gilirannya dia akan pergi. Yang terpenting, anda harus mengulangi amalan ini secara terus menerus, sampai suami anda menemukan kesadaran dan jatidirinya kembali.
Sebagai amalan tambahan yang dikhususkan untuk melindungi diri anda, juga kedua anak anda dari pengaruh setan atau jin jahat itu, maka saya sarankan untuk membaca Ayat Kursi pada setiap permulaan siang (waktu dhuha) dan di setiap permulaan malam (menjelang Magrib). Lakukanlah amalan ini secara kontinyu dan tidak terputus-putus. Insya Allah anda dan anak-anak akan terhindar dari pengaruh kekuatan iblis yang kini tengah mengancam suami anda.
Ingat, istiqomah dan wirid merupakan perbuatan mulia yang selalu mendapatkan keridhoan dari Allah SWT. Karena itu, besar harapan saya agar anda secara sungguh-sungguh menjalankan kedua amalan di atas. Walau sepertinya sederhana, tapi Insya Allah hasilnya akan segera anda rasakan. Semoga Allah SWT meridhoiNya. Amin ya robbal alamiin…!

Cara Jitu Cari Banyak Isteri

Poligami memang masih menjadi kontroversi, meski syareat Islam tidak mengharamkannya. Yang terpenting adalah bersikap bijak dan adil bila Anda termasuk yang telah berpoligami. Tetapi bila dengan kebijakan dan keadilan Anda isteri-isteri Anda masih tetap sulit akur, maka pastikanlah Anda lakukan ritual sederhana berikut ini.
Walau sederhana, tapi silakan buktikan sendiri bagaimana hasilnya. Begini caranya:
- Setiap sesudah sholat 5 waktu selalu kirim Al Fatihah khusus buat isteri pertama dan kedua. Contohnya seperti ini:
“Khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri pertama) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”. dilanjutkan dengan: “Wa khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri kedua) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”
- Baca surat Al Ikhlas 11 x
- Setiap malam, tepat pukul 03.00 dinihari selalu dirikan sholat Hajat 2 rakaat. Setelah salam amalkanlah wiridan ini: “WA AL KOITU ALAIKA MAHABBATAM MINNI WA LITUSNA’A ALA AINII” dibaca 300 x (Q.S. Thaha; 39)
- Lalu berdoa: “YA ALLAH YANG MAHA KUASA, BERIKANLAH KERUKUNAN DAN CINTA KASIH ANTARA…….(ISTERI PERTAMA) BINTI…….(NAMA IBUNYA) DAN…….(ISTERI KEDUA) BINTI…….(NAMA IBUNYA). YA MALIKIYAUMIDDIN IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IIN”

Demi Kekayaan Rela Nikahi Jin Seram

Setelah usahanya bangkrut akibat amukan massa pada peristiwa hura-hura massal tahun 1998, dia akhirnya memutuskan untuk menikahi jin. Ini dia lakukan demi kembali meraih kesuksesan….
Dalam perjalanan menjelajahi berbagai pelosok, Penulis sempat menemukan kesaksian dari seorang anak manusia yang telah menjalin hubungan sangat erat dengan eksistensi bangsa jin. Ya, dalam sebuah tugas liputan, Penulis secara tak sengaja mampir ke rumah seorang sahabat yang sudan lama tidak dikunjungi. Rasidan, namanya, atau biasa dipanggil Jhony. Dari sinilah kesaksian yang sulit diterima akal sehat itu bermula.

Tak seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya di masa mendatang. Semuanya masih merupakan misteri yang sulit ditebak. Begitu juga halnya dengan Jhony. Dia tidak pernah menduga kalau usahanya sebagai seorang petambak udang dan pemilik toko furniture terbesar di kotanya akan jatuh bangkrut. Menurut perhitungannya, harta yang dimilikinya telah lebih dari cukup untuk menopang hidupnya. Tapi dia lupa bahwa perhitungan manusia kadang-kadang bisa berubah atas ketentuan Illahi.

Keadaan telah memporak-porandakan cita-cita dan tatanan kehidupan Jhony yang telah ditatanya sejak lama. Tragedi 12 Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu bagi Jhony dan keluarganya. Kerusuhan telah membuat dirinya miskin. Toko furniture dan mobil mewahnya yang diparkir di depan tokonya hangus terbakar, sementara tambak udangnya habis dijarah orang. Sedangkan rumah yang ditempatinya sudah bukan miliknya lagi, karena surat-suratnya telah dijaminkan ke Bank untuk modal pengembangan usaha furniturenya.
Melihat kenyataan pahit ini Jhony sempat shock. Dia tidak menyangka akan musibah yang melanda dirinya dan memusnahkan semua harta yang selama ini telah dikumpulkannya, hanya dalam sekejap. Isterinya, Vera tidak kalah shocknya menerima kenyataan pahit ini.
Dalam kondisi kalut seperti itu, Jhony dan Vera datang kepada seorang Kyai yang terkenal sebagai ahli spiritual. Kepada sang Kyai mereka berkonsultasi tentang musibah yang dihadapi. Orang tua yang bijaksana itu hanya menggangguk dan tersenyum. Dengan arifnya dia bertutur bahwa di balik semua musibah itu ada maknanya, makna itu bisa bermacam-macam. Di satu sisi bisa bermakna cobaan, di sisi lain bisa juga peringatan bagi keluarga Jhony.
Menurut mata batin sang Kyai, selama ini Jhony dan Vera tidak pernah mengeluarkan zakat mal dan bersedekah, padahal selama ini mereka menerima terus menerus rezeki dari Yang Maha Kuasa, Mereka telah ditutupi oleh penyakit hati yakni pelit untuk mengeluarkan sedekah dan zakat maal yang merupakan hak orang lain terutama anak-anak yatim, para janda tua dan kaum dhuhafa. Akibat dari semua itu maka datanglah peringatan bagi mereka.
Jhony membenarkan ucapan orang tua yang bijak itu. Namun yang terpenting, bagaimana caranya agar dia tidak diusir dari rumahnya karena tidak mampu lagi membayar cicilan ke bank akibat usahanya telah bangkrut. Orang tua itu berbisik pada Jhony, memberi solusi mencari uang secara pintas, “Bersediakan Nak Jhony menikah dengan jin?”
“Menikah dengan jin? Bagaimana mungkin?” tanya Jhony.
“Apa yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin kalau Allah menghendakinya,” ujar sang Kyai. Menurutnya, persyaratannya tidak begitu susah. Pertama harus seizin isteri karena dia akan dimadu. Kedua, menyediakan kamar khusus untuk menyongsong kedatangan isteri jinnya yang akan datang pada waktu tertentu.
Sekaitan dengan syarat pertama, pada masa pengantin Jhony harus menemani isteri jinnya selama satu bulan penuh, mengingat masih dalam suasana pengantin baru. Setelah itu waktu menggilirnya diatur seminggu tiga kali.
Syarat ketiga dia tidak boleh main perempuan lain. Dalam artian, Jhony tidak boleh tidur, apalagi menikah dengan wanita lain.
Atau kesepakatan dengan Verra, Jhony akhirnya bersedia mengawini makhluk yang berlainan alam itu.
***

Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, ritual pun dimulai. Jhony sudah siap di kamar orang tua itu. Suasana di kamar agak lain, seperti ada hawa sejuk yang menyenangkan.
Setelah melakukan upacara ritual suasana begitu sangat syahdu, namun terasa berbalut mistik. Sepi namun sesekali terasa mencekam. Tak lama kemudian Jhony mendengar ada suara dari luar.
“Assalamu’alaikum!” suara itu begitu lembut.
Jhony tersentak. Orang tua itu berbisik, “Pengantin wanitanya sudah datang!”
Segera dia bangkit membukakan pintu. Tampak seorang gadis cantik berjilbab putih dengan gaun terusan warna hitam bergaris lembut. Melihat keanggunan dan kecantikan gadis itu, kerongkongan Jhony seperti tercekat. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hingga kemudian gadis itu berkata, “Inikah calon suamiku, perkenalkan namaku Siti Zubaedah. Kau Jhony, kan?”
Setelah berkata demikian gadis itu duduk di sebelah Jhony. Singkat cerita, dengan disaksikan oleh orang tua itu terjadilah proses pernikahan dua makhluk ciptaan Tuhan yang berlainan alam.
Sungguh menakjubkan, setelah Jhony beristerikan Siti Zubaedah, kehidupannya teras mengalami peningkatan. “Aku diberikan uang sebagai modal untuk memulai usaha baru,” cerita Jhony.
Menurutnya, isterinya yang bangsa jin itu memberi suntikan modal untuk membayar hutangnya di Bank, merehab tokonya yang telah terbakar, dan melanjutkan usaha tambaknya yang habis dijarah, bahkan membeli mobil baru. Semua itu atas bantuan Zubaedah, disamping fitrah Jhony sebagai manusia yang terus bekerja keras.
Di samping usaha tambak ikan, kini Jhony juga menekuni profesi barunya sebagai suplayer obat-obatan. Mungkin, hal ini dimungkinkan karena ada kekuatan gaib yang mendorongnya, hingga usaha apapun yang dijalankan olehnya selalu berhasil.
***
Ketika Penulis bertamu ke rumahnya, Jhony bercerita penuh antusias tentang Zubaedah yang penduduk alam gaib itu. Atas keinginannya, dia akan mengundang Zubaedah dan memperkenalkannya denganku. Aku sempat mencegah dengan alasan takut melihat wajah dari makhluk yang berlainan alam itu. Namun Jhony tetap bersikeras untuk mengundangnya. Menurutnya, Zubaedah mempunyai kemampuan untuk mawujud layaknya seorang manusia.
“Karena kau memaksa, aku bersedia saja!” begitu akhirnya kata Penulis.
Tak lama, kami mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Seketika suasana di penghujung malam itu sudah merubah aura menjadi penuh dengan kegaiban.
Kijang kapsul warna putih metalik melewati kami yang sedang duduk di beranda muka, sementara mobil itu berhenti di palvilyun samping rumah. Segera Jhony menyongsong wanita yang turun dari dalam mobil itu. Sekilas pandangan Penulis menoleh dengan diiringi oleh bulu kuduk yang meremang. Jantungku berdetak kencang. Penulis segera paham dengan situasi itu. Memang wanita itu terlihat cantik dengan gaya modis berbusana muslim.
Jhony dan wanita yang mungkin adalah Siti Zubaedah itu terlihat masuk lewat pintu samping. Namun tak lama kemudian wanita itu keluar lagi meninggalkan tempat itu tanpa sempat bertemu muka denganku. Aku berdecak kagum atas penampilannya dalam permainan imajinasi sudut pandang. Mobil kijang yang tadi terlihat itu ternyata hanyalah seekor kuda putih, sementara sosok wanita itu tidak terlihat secara jelas karena kesannya terburu-buru.
Setelah kejadian yang hanya kurang dari satu menit itu, kembali Jhony menghampiriku dan mengatakan bahwa tadi itu adalah isteri mudanya. Aku hanya terpaku menyaksikan kejadian musykil itu.
“Sekarang kau mungkin percaya bahwa aku telah beristerikan wanita dari alam gaib,” kata Jhony setelah sensasi aneh itu berlalu.
Penulis hanya angkat bahu. Apakah benar yang dikatakan Jhony? Penulis masih sulit untuk mempercayainya.
***
Sekitar setengah bulan setelah pertemuan itu, tiba-tiba ada kabar melalui hendphone kalau Jhony sekarang dirawat di rumah sakit. Merasa khawatir atas kesehatannya, Penulis pun segera berangkat untuk menjenguk Jhony. Sesampainya di sana kulihat sahabatku itu terbaring lemah. Segera kuhampiri dan kudengar dia berbisik mengatakan bahwa isterinya marah karena Jhony telah mengundangnya secara mendadak dan terasa ada benturan pada dirinya begitu melihatku. Aku katakan bahwa hal itu tidak apa-apa.
“Makanya, aku bilang jangan kau lakukan itu. Kau sendiri yang memaksa kan?” ujar Penulis.
Jhony hanya tersenyum kecut.
Menurut analisis team medis Jhony terkena gejala thypus. Namun berdasarkan terawangan alam kesunyatan yang dilakukan Penulis, sahabatku itu terkena imbas negatif akibat benturan hawa energi antara Penulis dengan isterinya itu. Untuk membantuh penyembuhannya, Penulis segera mengirimkan energi ke tubuhnya untuk memulihkan kondisinya, setelah itu aku pamit pada Verra dengan berpesan segera memberi kabar bila terjadi apa-apa terhadap Jhony.
Selang tiga hari kemudian Vera, isteri sahabatku itu mengabarkan bahwa suaminya sudah kembali dari rumah sakit dengan kondisi agak baikan. Aku bersyukur mendengar kabar baik itu. Aku sempat menelepon Jhony dan mengatakan padanya agar dia mulai memikirkan masa depan hidupnya jangan terus beristerikan jin itu.
“Aku takut nantinya kau yang berada di bawah pengaruhnya, Jhon!” kataku.
Jhony memahami kekhawatiranku. “Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk berpisah dengannya,” katanya dengan suara jernih. Ini artinya, Jhony sungguh-sungguh sudah baikan.

Diculik Dewi Lanjar

Penulis sekaligus adallah pelaku langsung peristiwa yang tidak masuk akal ini. Selama dua hari dia tak sadarkan diri. Sementara itu, dia merasa telah berada di alam lelembut Dewi Lanjar. Bagaimana hal musykil ini bisa terjadi...?
Pagi itu, Selasa, 3 Mei 2005. Aku mengajak temanku pergi ke Pantai Slamaran yang berada di Kabupaten Pekalongan. Bukan untuk berdarmawisata, tapi untuk menjalankan sebuah ritual dari guruku. Sesuai dengan pesan dan ajaran guruku, sifat ritual yang aku lakukan ini memang harus selalu berendam di air laut tatkala menjalankannya.
Pantai Slamaran sendiri begitu cocok dijadikan sebagai tempat ritual, sebab sejak dulu pantai ini sudah aku kenal, tatkala aku sering main ke rumah saudaraku yang berada di Panjang Wetan, Pekalongan. Dengan alasan itulah aku menjadikannya sebagai ajang ritual khususku, yang memang sangat aku rahasiakan.
Di samping air laut serta pasirnya yang bersih, masyarakat di sekitar pantai ini pun sangat ramah tamah kepada setiap orang yang berkunjung. Karena itu tak heran jika kawasan pantai ini selalu dipadati pengunjung, terutama di hari libur.
Dengan alasan menghindari keramaian, maka aku sengaja memilih hari Selasa untuk datang ke pantai legendaris itu. Aku pun memililihnya pas tengah hari, ketika panas matahari menyengat, dan membuat orang enggan berada di sekitar pantai.
Ketika itu pas pukul sebelas siang aku dan temanku sampai di tempat tujuan. Angin laut yang semilir seolah menyambut kedatangan kami. Teriknya sinar mentari pun langsung terasa memanggang tubuh kami. Suasana pantai tampak sangat sepi. Hanya ada beberapa orang nelayan yang lalu lalang, atau sibuk merajur jaring.
Ombak datang silih berganti menambah indahnya Pantai Slamaran di siang nan terik itu. Air laut tampak berkilauan diterpa sinar mentari. Sambil menghilangkan rasa lelah karena perjalanan jauh, kami mampir di sebuah warung makan sambil menanyakan rumah kontrakan yang bisa disewa barang beberapa hari. Beruntung, si pemilik warung memberi tahu keberadaan rumah yang memang biasa dikontrakkan.
Setelah aku mendapat informasi tentang rumah kontrakan itu, aku langsung mendatangi pemiliknya. Tawar menawar pun terjadi dan akhirnya aku jadi mengontrak rumah tersebut.
Sesudah ditunjukkan tempat kontrakannya, aku jadi kaget. Kontrakan itu hanya sebuah bilik dari bambu tanpa kamar dan di dalamnya sudah banyak orang sebelum kami datang. Yang membuatku sangat kesal, laki-laki dan perempuan bercampur jadi satu di rumah sederhana itu.
Sialan! Aku memaki sendiri. Pikirku, sudah mahal sekali bayarnya, tempat hanya bilik seperti ini, dan orangnya juga sudah berjubel. Karena telanjur, aku pun harus menerimanya dengan hati mendongkol. Namun, lain kali tentu saja aku harus lebih berhati-hati.
Sambil menekan kejengkelan, aku bersama temanku aku langsung berbaur dengan orang-orang yang semula tidak aku ketahui apa maksudnya berkumpul di gubuk tersebut. Namun, dari beberapa obrolan mereka yang sempat terdengar, aku akhirnya jadi tahu semuanya. Yang punya kontrakan gubuk reot itu ternyata adalah juru kunci yang konon bisa mencari pinjaman dana gaibnya Dewi Lanjar. Dan, orang-orang tersebut berkumpul adalah untuk kepentingan yang sangat nyeleneh ini.
Aku dan temanku hanya geleng-geleng kepala. Namun yang tak habis kupikirkan, beberapa di antara mereka ada yang menyebut dirinya pernah berhasil dalam ritual gaib itu. Mungkinkah? Pertanyaan ini sungguh tak dapat aku pecahkan.
Tanpa mempedilukan aktivitas orang-orang itu, malam harinya, sekitar pukul 11.30 wib, dengan ditemani kawanku, aku mulai melakukan ritual yakni dengan berendam di pinggir Pantai Slamaran. Dinginnya air laut sangat terasa ke seluruh tubuhku. Ombak laut silih berganti menerpa sampai ke wajahku.
Semakin malam ombak kian bertambah besar. Air pun mulai pasang. Namun, kupertahankan posisiku agar tak oleng dari posisi duduk semula yang membentuk sikap bersemedi. Namun, diluar dugaan ombak laut semakin besar, dan air pasang kian meninggi. Dadaku terasa sesak akibat silih bergantinya ombak yang menerjangku.
Lama kelamaan kepalaku pusing, pandanganku pun berkunang. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Entahlah, mungkin aku tenggelam diseret ombak dan air pasang yang kian meninggi. Yang pasti, di saat aku tak sadarkan diri, seolah-olah aku dijemput dua orang yang bertubuh tinggi kekar dengan seragam ala prajurit keraton.
Kejadiannya begitu cepat. Kedua orang prajurit itu membawaku masuk ke sebuah istana yang sangat megah. Di dalam istana yang penuh pernak-pernik barang antik, ratusan prajurit dan dayang-dayang menyambutku dengan senyum penuh keramah-tamahan. Setelah memasuki beberapa ruangan dan melewati barisan prajurit, hulubalang, serta dayang-dayang yang seluruhnya seperti takjim padaku, akhirnya aku sampai dis ebuah ruangan yang jauh lebih indah dari yang lainnya. Di tempat inilah aku dihadapkan kepada sosok yang disapa sebagai Ibu Ratu. Dian adalah wanita yang sangat cantik dengan tubuh sentosa. Penampilannya terlihat sangat agung dengan mahkota bertatahkan intan berlian yang bertengger indah di kepalanya.
Kharisma serta kelembutan nada bicara Ibu Ratu seakan membuat seisi istana patuh dan sangat menghormatinya. Begitu pun yang kurasakan. Sekujur tubuhku serasa merinding saat mendengar nada suaranya yang merdu bak buluh perindu.
Setelah menghaturkan sembah ke Ibu Ratu, dua prajurit tadi mengajakku keliling istana. Dari satu tempat ke tempat yang lain.
Di tengah jalan aku bertemu dengan dua gadis cantik yang kemudian kuketahui bernama Sri Lorenza dan Sri Lopaka. Mereka berdua pun akhirnya ikut mendampingku jalan-jalan mengeliling berbagai tempat nan permai.
Akhirnya, tibalah aku bersama empat orang lainnya ke sebuah bangunan yang dikelilingi oleh sebuah sungai dengan air gemerlap. Setiap empat penjuru sungai ini terdapat satu jembatan menuju pintu masuk.
Saat akan melewati salah satu jembatannya, aku sangat terkejut. Betapa tidak! Yang menjadi pijakan jembatan tersebut bukan aspal atau bahan kayu lainnya, melainkan tubuh orang-orang yang diikat kepala serta kakinya. Mereka dijejerkan saling berlawanan arah, sehingga terhampar sedemikian rupa. Yang membuatku terkejut, semua orang yang menjadin alas jembatan itu masih dalam keadaan hidup.
Bergidik dan nger aku dibuatnya, hingga aku tak sanggup meneruskan langkahku. Melihat keterkejutanku, Sri Lorenza cepat-cepat memberi isyarat padaku untuk meneruskan perjalanan sampai ke bangunan yang ada di seberang sungai. Karena aku masih berdiri terpaku, gadis berlesung pipit itu akhirnya mengapit tanganku dan segera mengajak melangkah. Setelah itu, kami berlima menapakai jembatan yang terbuat dari anyaman tubuh manusia itu.
Seperti tak ada masalah, keempat orang itu menginjak satu demi satu orang-orang yang menjadi alasan jembatan, seakan mereka tak punya rasa kasihan sedikitpun. Dengan risih aku pun terus mengikuti langkah mereka. Ketika itulah dengan jelas aku mendengar dari mulut orang-orang itu jeritan yang sangat histeris. Ya, mereka menahan rasa sakit yang tak terperi. Ini juga jelas terlihat dari raut muka mereka yang tampak sedemikian menderita.
Sesampainya di ujung jembatan, aku menghentikan langkahku. Dengan sedikit memberanikan diri aku bertanya pada Sri Lorenza; "Sri Lorenza, apa yang menjadi penyebabnya hingga mereka semua diikat dan disiksa seperti itu?".
"Mas, itu semua orang-orang serakah dimasa hidupnya. Mereka semua minta kekayaan pada Ibu Ratu dan ibunda pun memberikannya. Tetapi, setelah mereka jaya, semua tak mengakui pemberian tersebut. Karena itu mereka akhirnya disiksa seperti itu," jelas Sri Lorenza.
Aku terbengong-bengong mendengar, sampai akhirnya gadis itu mengajakku, "Bila kau ingin tahu segalanya, ayo masuk ke dalam bangunan itu!"
Aku hanya mengikuti saja. Kami sama-sama melangkah ke arah bangunan yang dimaksud Sri Lorenza. Di depan pintunya kulihat dua penjaga yang bertampang brewok dan sangar. Begitu melihat kedatangan kami, mereka langsung membuka daun pintu. Terdengar suara berderit yang memecah keheningan. Lalu, apa yang terjadi?
Aku benar-benar tak kuat melihat pemandangan yang ada di dalam bangunan itu. Ratusan orang disiksa dengan sadisnya. Tubuh mereka tampak berdarah-darah, bahkan ada yang bola matanya pecah. Bekas cambuk tergores diseluruh badan mereka, darah menetes di sela luka menganga.
"Sri Lorenza, mengapa mereka disiksa seperti itu? Apa pula kesalahan mereka hingga tiada maaf untuk memperbaikinya?" Dengan suara gemetar aku kembali bertanya.
"Sudah terlambat bagi mereka untuk meminta maaf. Semasa hidupnya, mereka semua pemuja Ibunda Dewi Lanjar. Setelah ibunda memberi kekayaan, mereka semua meninggalkan kewajiban ibadah kepada Allah, berhaji, serta bersedekah. Mereka hanya mau enaknya saja tanpa mau bekerja, tanpa membantu orang susah, inginnya selalu berfoya-foya hingga ibunda marah dan menyiksanya seperti yang kau lihat saat ini," Siri Lorenza menjelaskan.
Disaat aku sedang berbincang dengan Sri Lorenza, tiba-tiba dari kerumunan orang yang tengah disiksa, datang seorang nenek-nenek dengan badan bersimbah darah, serta baju yang robek-robek akibat cambukan para algojo.
Nenek itu mendekatiku sambil berkata, "Nak, tolonglah. Nenek sudah tak kuat. Nenek pingin mati saja, Nenek jera minta pesugihan. Tolonglah, Nak!"
Aku hanya tergagap-gagap mendengar permohonan si nenek. Sebelum sempat kubuka mulutku, tiba-tiba datang seorang algojo bertubuh perkasa yang langsung menarik paksa rambut si nenek menuju tempat penyiksaan. Nenek itu terjungkal. Tangisan serta raungannya membuatku tak sadarkan diri lagi. Ya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita. Tanah yang kupijak pun seperti bergetar hebat, seolah ada gempa....
Apa yang nampak di depan mataku selanjutnya sungguh sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Setelah aku siuman, kulihat di sekelilingku telah banyak orang dengan raut muka cemas memandangku yang terbaring lemah.
"Ada apa ini?" aku bertanya pada mereka.
"Alhamdulillah, kau sudah sadar!" kata Marwan, temanku yang selalu setia menyertaiku perjalananku.
"Memangnya aku ini kenapa?" aku kembali bertanya.
"Kau sudah tak sadarkan diri selama dua hari dua malam!" jawab Marwan.
Begitu kagetnya mendengar jawaban Marwan, sampai aku terduduk sambil memandang ke sekeliling. Aneh, aku tidak lagi berada di depan gedung tempat penyiksaan itu, melainkan di sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku tak habis pikir, kurasa baru dua jam aku dibawa bangsa halus, tapi Marwan bilang sudah dua hari aku tak sadarkan diri.
Menurut Marwan, malam itu dia melihatku tenggelam. Karena itu dia segera mencebur ke luat dan berusaha menolongku. Beruntung, Marwan dapat menyeret tubuhku ke darat. Tapi, sejak kejadian itu aku tak sadarkan diri sampai dua hari lamanya.
Apa yang terjadi menimpaku di Pantai Slamaran, sungguh kenyataan yang sulit diterima akal sehat. Tapi, bagiku ini merupakan pengalaman yang sangat berharga sekali, yang sekaligus menjadi indikasi bahwa memang terdapat ruang gaib bagi mereka yang ingin melakukan pesugihan.
Akhirnya, semoga kiranya ceritaku ini bermanfaat. Pesanku, hendaknya kita selalu berhati-hatilah dalam menjalankan sebuah kehidupan nan fana ini.

Tobat Setelah Jalani Pesugihan

Banyak orang yang tidak percaya adanya makhluk halus seperti Genderuwo, Kuntilanak, Jin dan sejenisnya. Tapi banyak pula orang yang percaya dan yakin bahwa mereka itu ada. Dan salah satu orang yang percaya adanya makhluk halus itu adalah aku (Penulis)).
Dulunya, aku tidak percaya sama sekali tentang kisah-kisah berbau hantu. Namun hal itu berubah setelah aku sendiri mengalami sebuah peristiwa yang sangat menyeramkan, sekaligus mengerikan. Pengalaman ini pula yang sekaligus memberiku hidayah untuk kembali menjalankan segala perintah Allah SWT. Ya, sejak peristiwa ini aku kembali rajin menjalankan sholat baik wajib maupun sunnat, padahal sebelumnya aku termasuk pemuda yang berandalan. Karena pengalaman ini pula setiap malam aku kian rajin membaca Al Qur'an.

Kisah mistisku ini terjadi di bulan Mei tiga tahun silam. Tepatnya malam Minggu Kliwon, tanggal 23 Mei 2004 yang lalu. Dan sampai sekarang kejadian ini masih membekas jelas di ingatanku. Mungkin ini akan menjadi sebuah pengalaman mistis yang menakutkan sepanjang hidupku.
Sebagai pemuda yang masih lajang, setiap malam Minggu, aku paling suka menonton hiburan dangdutan, yang ditanggap orang yang sedang mengadakan pesta hajatan. Baik itu di kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan mengendarai sepeda motor.
Ceritanya, malam itu terpaksa aku pulang sendirian dari menonton acara dangdutan di kampung seberang. Jarak kampungku dengan kampung seberang kurang lebih 2 Km. Jalan penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampung seberang harus melalui perkebunan karet.
Entah mengapa kampung itu disebut kampung seberang. Menurut orang-orang tua, di kampungku karena letaknya di seberang sungailah, maka disebut kampung seberang.
Semua teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah sekapat, jam setengah dua belas malam harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara dangdutan, hingga aku lupa pada kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang saja. Semua teman-temanku mengira, aku sudah pulang duluan.
Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Sewaktu pergi tadi, aku dibonceng sepeda motor temanku.
Dengan perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian saja dengan berjalan kaki. Apalagi jarak kampungku tidak begitu jauh. Perasaan takut tak jadi masalah bagiku. Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya takut. Apalagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayainya.
Suara jangkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan sedang purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.
Untuk mengusir kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemeranku. Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah perkebunan karet, entah mengapa tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukull satu malam.
Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di depanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot.
"Satu langkah lagi, habislah aku," batinku.
Karena menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu kesamping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Nyaring sekali. Hati kecilku berkata, "jangan-jangan ini Kuntilanak!"
Kuperhatikan sekelilingku tetapi tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar. Kuperhatikan kembali sekelilingku. Tapi tetap tidak ada apa-apa. Hanya pepohonan karet yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan.
Lagi-lagi suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan berulang-ulang. "Benar ini pasti Kuntilanak!" kataku dalam hati.
Karena suara tawa itu terus saja terdengar, bukanya takut malah timbul rasa jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.
"Heiii...Kuntilanak! Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan wujudmu. Kau pikir aku takut, dasar setan. Keluar kau!"
Begitu aku selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada setitik pun rasa takut di benaku. Malah timbul rasa penasaranku. Seperti apa sih Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi.
Dengan perasaan jengkel kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi sapaan suara perempuan. "Baaang!"
Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap kebelakang.
Seorang perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah darimana datangnya. Buru-buru aku mundur beberapa langkah ke belakang, sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya menutupi kaki dan tangannya.
Dan tiba-tiba saja tercium bau bunga kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan berlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambutnya acak-acakan.
Spontan rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut. Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.
"Kun...Kun...Kuntilanak!!" teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu.
Melihat aku lari, Kuntilanak itupun ikut berlari mengejarku. Sekilas dapat kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya yang mengerikan.
Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan. Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali ini aku merasakan takut yang teramat sangat.
Di saat genting itu, tiba-tiba ada cahaya lampu dari depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku. Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang. Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku.
Sambil mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku. Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalariku.
Begitu cahaya lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga! Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tidak berdarah lagi. Jantungku berdegup kencang.
Keberanian yang dulu kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang tanpa kepala dengan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat, mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya juga tidak ada yang utuh.
Mataku melotot tidak bisa dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan sekali.
Tiba-tiba, rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya dan menatap ke arahku.
Rasa takut yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk itu sangat mengerikan. Mereka menatapku dengan tajam. Lalu salah seorang datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu matanya menggantung keluar hampir copot. Isi perutnya terburai keluar. Dengan jalannya yang seperti robot, makhluk itu mendekatiku.
Ingin rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan cepat tangan makhluk itu mencengkeram bahuku. Kucoba meronta melepaskan cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku dilemparkan kearah keranda mayat.
Tubuhku melayang menuju keranda. Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu dengan telak tubuhku jatuh ke dalam keranda itu. Dengan cepat penutup keranda itupun menutup kembali.
Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. Tapi sungguh sangat sulit.
Aku coba berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia.
Lalu dengan bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Cara Jitu Dapat Uang Yang Barokah

nah ini mungkin tulisan yang agak nyleneh, baik, akan saya uraikan prolognya dulu. dalam quran Allah sudah berjanji bahwa sedekah kita akan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. baik, ini menjadi dalil utama topik ini, jadi saya mendasarkan quran ya…. artinya saya tidak bidah, syirik apalagi kufur….
kebanyakan kita mendengar ayat ini kita termotivasi untuk bersedakah kemudian kita menunggu nunggu “mana yang 10 kali lipatnya???” dan banyak dari penyedekah selalu berharap harap kapan uang sedekah 10.000 menjadi 100.000, kapan … kapan dan kapan…. karena tidak berani menyalahkan ayat tadi maka ngeyem ngeyemi diri dengan mengatakan ah.. mungkin rejekinya sehat, ahh mungkin 10 kali lipatnya dalam bentuk lain….. ya itu bisa saja tapi mari kita koreksi dulu mengapa sedekah kita tidak berlipat menjadi 10 kalinya :

1. paling utama adalah tingkat keimanan kita kepada Allah tentang lipatan 10 kali lipat. cirinya apa kalau iman kita lemah… cirinya adalah kita kepikiran terus tentang lipatan 10 kali dari Allah…. orang yang kepikiran kalau sedekahnya tidak dilipat lipatkan Allah artinya orang yang sedekah tersebut meragukan Allah.
2. jika iman lemah, akibatnya kita ragu dan kalau kita meragukan Allah maka berarti kita menutup diri, tidak menerima, menolak kalau uang kita dilipatkan. jadi jangan ragu kalau ragu Allah lebih ragu so perjanjian batal.
3. terlalu berharap lipatan 10 kali mengurangi tingkat keyakinan, jadi jangan diikutsertakan ingin lipatan 10 kalinya karena itu melemahkan keyakinan kita kpd yang pada akhirnya allah tidak mengabulkan pelipatan 10 kalinya.
sekarang saya menawarkan cara yang lebih praktis (khusus yang imannya lemah, sebab jika imannnya sudah kuat tidak perlu pakai cara ini)
1. bersedekahlah misalnya 10.000 ihlaskan karena Allah jangan di embel embeli 10 kali lipat. jadi ketika memberikan sedekah ini betul betul hati kita ihlas karena Allah, berikan uang kita kepada Allah (hakikat) bukan kepada orang yang kita beri.
2. berdoalah seperti ini (contoh) : ya Allah saya sudah bersedekah 10.000 itu artinya bahwa Engkau sudah sediakan saya 100.000. ya Allah permudah jalan saya untuk mendapatkan 100 ribu itu ya Allah, lapangkan usaha saya, lancarkan bisnis saya, mudahkan pekerjaan saya, dan datangkan 100ribu dari jalan jalan yang tidak saya sangka sangka, berikan kepada saya ide ide bisnis, semangatkan saya untuk bekerja ya Allah ridloi jalan saya. amiin.
3 setelah berdoa seperti itu maka bersiap lah siaplah untuk menyambut kedatangan ide, semangat, bisnis bisnis baru, peluang peluang baru untuk menjual, berdagang dan lain sebagainya. ingat 100 ribu sudah disediakan untuk kita maka jangan tunggu waktu lagi segera bertindak.
4. bekerjalah dengan semangat, carilah terus peluang “ingat 100ribu sudah ada tinggal kita ambil dengan cara yang sudah allah tetapkan yaitu suntatullah”
5. jika mendapatkan bersyukurlah, berbahagialah dan sedehkanlagi sebagian kemudian gunakan cara cara diatas.
kalau kita ingin melipatgandakan 10rb menjadi 100 juta sangat mudah dalam waktu 1 bulan!!!!
caranya :
1. sedehkan 10 ribu : kemudianberpikirlah bahwa dalam satu minggu harus mendapatkan 100ribu. bekerjalah semampunya, usahakan semampunya sampai mendapatkan 100ribu.
jika sudah sedekahkan 100ribu tadi dan berpikirlah bahwa allah telah menyediakan 1juta untuk kita ambil maka berpikirlah, berusahalah, melalui sunatullah yang kita bisa dengan berdagang, jual beli dan lain sebagainya hingga kita mendapatkan 10.juta dan sedekahkan 10 juta untuk mendapatkan 100 juta pada minggu terakhir. ingat Allah sudah menyediakan 100juta, maka berusahalah, carilah peluang, bekerjalah semampunya… dan di minggu terakhir akan mendapatkan 100 jt.
berani coba. konsep ini tadi malam saya terapkan kepada jamaah patrap, dan minggu depan evaluasi. semoga allah melapangkan rejeki kita amin